Senin, 25 Februari 2013

Kisah Cinta Puti Bungsu dari Ranah Minangkabau

Aku diberi nama Puti Bungsu, karena aku bungsu dari empat bersaudara, satu-satunya perempuan dari tiga kakakku laki-laki. Dan karena aku bersal dari ranah Minang, Putri biasa dipanggil Puti, maka jadilah namaku Puti Bungsu. Aku lahir setelah belasan tahun Ibuku berharap punya anak perempuan, karena garis keturunan di ranah Minang adalah garis ibu, berikut harta pusaka pun turun ke anak perempuan. Perempuan sebagai penerus garis keturunan, tampa aku, anak perempuan satu-satunya, garis keluargaku dianggap punah.

Setelah Bapakku meninggal, dan Ibuku pensiun, aku dan Ibu merantau menyusul kakakku yang nomor dua ke Bandung. Sebagai gadis Minang, aku pandai memasak, menjahit baju, dan menyulam kembang. Bahkan aku juga pandai berdagang, Pasar Baru Bandung dan Tanah Abang, adalah tempatku memasarkan hasil karyaku berupuk rukuk dan mukenah bersulam.
Petatah petitihnya orang Minang, masih melekat di benakku, maka tak aneh jika aku sangat menyenangi yang namanya bermain kata. Menulis puisi jadi hobby yang tak bisa aku tinggalkan.
Tiga tahun lalu aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Rambun, Rambun lahir dan dibesarkan di Medan, dia berdarah campur aduk. Ibunya berasal dari Magelang Jawa Tengah, tapi lahir di Aceh. Bapaknya berasal dari Selat Panjang Kepualauan Riau. Lalu Ibu dan Bapaknya bertemu di Medan, maka tumbuh dan berkembanglah keluarga tersebut di Medan.
Aku dan Rambun memang perjumpa di dunia maya, tapi kami sudah mendarat di bumi sejak tiga tahun silam. Dari jumpa pertama kami di Hero Kali Malang, saat itu Rambun masih bekerja di sebuah perusahaan Taiwan yang bergerak di bidang penjualan alat-alat telekomikasi di Bogor.
Selama bekerja di perusahaan itu, Rambun sering ditugaskan ke Bandung, sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau. Kesempatan itupun dia gunakan untuk lebih sering bertemu aku. Namun perusahaan tersebut terancam bangkrut, Rambun pun harus jadi mencari pekerjaan untuk bisa melanjutan kuliahnya di Extension UI, karena dia tidak bisa mengharapkan bantuan biaya dari orang tuanya. Ibunya meninggal setahun lalu, sedang Bapaknya pikun di usia muda, karena ulah temannya sesama pedagang. Maka tak ada pilihan lain, sementara Rambun terpakasa menarik metromini.
Namun cintaku pada Rambun benar-benar tidak melihat materi. Aku tetap cinta, meski aku tidak lagi berhadapan dengan seorang pegawai kantor yang selalu rapi dan wangi. Kuusap keringatnya yang bercucuran deras karena panasnya kota Jakarta.
Tiga bulan kemudian, dia mendapat pekerjaan baru di sebuah perusahaan asing terkenal, yang bergerak di bidang telekomunikasi. Meski masih sebagai karyawan kontrak, dan harus bekerja ke luar kota, bahkan harus siap bertugas di seluruh Indonesia, Rambun sangat gembira mendapatkan pekerjaan itu.
Setahun berlalu, aku dan Rambun menjalani hubungan jarak jauh. Tagihan kartu haloku meningkat drastis, angka dua juta, dan tak pernah kurang dari satu juta rupiah perbulan harus aku bayar demi cinta. Uang gajiku habis, tabunganku selama berdagang juga ludes. Sampai-sampai cincin yang melekat di kedua jari manisku, habis aku jual untuk sekali pertengkaranku lewat telepon di pasar Kosambi.
Namun malam ini, setelah setahun kujalani, dengan pahit dan getir. Bulan purnama jatuh juga menyinariku menghapus kegelapan yang kualami. Rambun datang untuk melamarku. Mengucapkan janji untuk menikahiku, di depan Ibu, dan Kakakku. Mata Ibu berbinar-binar bahagia, putri satu-satunya tahun depan akan menikah. Meksi Rambun menjanjikan pernikahan dilangsungkan Juni tahun depan, dan harus menunggu satu tahun lagi, aku dan seluruh keluargaku sangat bahagia.
Malam kini bertabur bintang gemintang, telepon dari kerabatku berdering silih berganti, menanyakan perihal pernikahanku. Putri bungsu yang diharapkan memperpanjang garis keturunan, akan menikah. Alek atau perhelatanpun akan dilaksanakan di rumah gadang di Ranah Minang.
Malam-malamku mulai merajuk mimpi, terbayang indahnya perjalanan dari bandara, menuju Lembah Anai nan sejuk, jalan berkelok, diantara rimbunnya dedaunan hijau, dan indahnya air terjun Lambah Anai. Jalan menuju Payakumbuh, akan melewati Ngarai Sianok, Labuah Luruih, dan Pandai Sikek. Ranah Minang nan indah dan dari kejauhan menjulang atap rumah gadang yang melengkung artistik. Gunung Merapi dan Gunung Singgalang kukuh berdiri seolah menjaga Ranah Minang nan elok.
Bahkan nama gelar buat Rambut setelah menikah denganku pun sudah ada di benakku. Sutan Rambun Pamenan, adalah gelar yang bagus buat seorang Rambun. Itulah adat Minang yang selalu memberikan gelar kepada menantunya setelah menikahkan anak kemenakannya.
Rumah gadang akan direnovasi, ukiran kayu yang sudah mulai kusam, akan dipernis semua. Kusen-kusen pembatas tingkah atau kamar di rumah gadang akan diganti semua. Tingkah ada di kanan kiri dan bagian belakang rumah gadang. Itu semua adalah tugas Kakakku yang tinggal di Riau, karena dia paling dekat untuk bolak balik pulang ke Padang.
Sepupuku Anita di Bukittinggi mulai menawar-nawar pelaminan dan pakaian adat yang merona merah menyala. Lagu Malam-malam Baiko sudah terngiang-ngiang di telengaku. Lagu itu biasa didendangkan pada saat pernikahan orang Minang.
Waktupun bergulir tanpa kusadari, enam bulan lagi pernikahan akan dilangsungkan. Tapi bagaimana dengan kesiapan Rambun sendiri? Pagi ini Rambun meneleponku.
“Puti, hari ini sampai besok pagi, hand phone aku matikan, karena aku harus menjalani perjalanan darat dari Banjarmasin menuju Palangkaraya. Sama sekali tidak dapat sinyal, karena melewati hutan lebat”, itulah berita dari Rambun pagi ini.
Aku terima, meski aku tak begitu yakin. Haruskah aku masih belum bisa mempercayai Rambun, sementara pernikahan tinggal enam bulan lagi? Perkawinan haruslah didasari rasa percaya yang penuh, pondasi yang terbuat dari cinta dan kepercayaan, akan membuat bangunan rumah tangga itu kokoh. Tapi itulah kenyataannya, rumah tangga yang akan kami bina masih goyah rasa percaya. Akankah rumah tangga tersebut akan selalu terombang ambing, atau rubuh sesaat diterpa prahara?
Pagi ini sesuai janji, Rambun meneleponku sambil ketawa-ketawa. Aku mulai curiga, kesal seolah dia telah berhasil membohongiku. Bisa jadi dia habis jalan-jalan sepuasnya dengan perempuan lain.
“Aku minta ditelepon dari Wartel, atau dari kantor”, sergahku tanpa aling-aling.
“Aku tidak bisa telepon dari kantor, aku sedang berada di pedalaman Kalimantan Tengah. Mencari wartel saja susah, ini saja untung sudah dapat sinyal”, Rambun mencoba berargumen.
Pecahlah pertengkaran di pagi itu, aku batal berangkat bekerja. Dan pertengkaran pagi itu menjadi sumber pertengkaran demi pertengkaran pada hari-hari berikutnya.
Dengan alasan sering tidak dapat sinyal, hand phone Rambun sering tidak aktif. Aku sudah mulai gerah, persiapan pernikahan aku pinta dihentikan total, biar saja kalau memang pernikahan jadi, mungkin harus diundur.
Awan hitam pekat bergelantungan di otakku. Suasana mulai keruh, aku tak bisa lagi menahan emosiku. Darahku mengalir panas, mencuat sampai ke ubun-ubun. Aku langsung menghantam telepon kantor pusat perusahaan tempat Rambun bekerja, di Jakarta. Aku minta si brengsek Rambun segera dikeluarkan dari pekerjaannya. Telepon kantornya berdering ratusan kali hari ini, sampai operator teleponnya kewalahan mengangkat telepon dariku. Mereka sudah marah-marah, bahkan ada yang menyahut sebagai polisi Metro Jaya. Aku tak peduli, aku kalaf, semua sudah diluar otak warasku.
Lalu aku layangkan surat permohonan untuk diberhentikannya Rambun dari pekerjaannya. Surat tersebut langsung aku tujukan ke HRD-nya. Isi surat tersebut, tentang kelakuan Rambun yang tidak pantas bekerja sebagai karyawan di perusahaan itu.
Ternyata, Rambun benar-benar dipecat, orang-orang di kantor pusat muak mendengar dering telepon dariku.
“Pernikahan batal!”, itulah teriakan yang terlontar di mulut Rambun.
Aku terbakar dan terkapar, penyesalan atas ketidakwarasanku kini mengoyak-ngoyak hatiku. Luluh dan lantak semua pilar-pilar harapan yang sudah kubangun dari tiga setengah tahun silam. Kini usai terburai, menghancurkan harapan Ibu dan Kakak-kakakku juga.
Malam yang gelap pekat, dan lampu-lampu bahagia mulai meredup, dan padam. Senyap mendekap, dan sesepoi sesal menggoreskan pisau membelah panjang jantung dan hati.
Rambun masih tetap bertahan tinggal di Balikpapan, masih bisa kuhubungi. Dari beritanya dia sekarang memberi les private buat anak SMP dan SMA, khususnya mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Bahasa Inggris. Dan pada siang harinya dia jadi tukang ojek, kebetulan Ibu kosnya bermurah hati meminjamkan motornya, meski harus bagi hasil setiap harinya.
Setelah pertengkaran hebat, dan prahara itu usai, tapi syukurlah komunikasi kami tidak terputus. Rambun bisa menerima kejadian ini dengan lapang dada. Sebenarnya siapa didunia ini yang bisa memberi maaf pada dosaku yang sudah menghancurkan karirnya. Tapi dibalik itu, siapa perempuan jaman sekarang yang tidak silau dengan materi, dan siapa yang bisa menerima penghasilan suaminya sekecil apapun. Itulah satunya yang masih membuat hubungan kami masih bertahan.
Berita tentang buyarnya acara pernikahanku mulai merebak di kantor. Teman-teman mulai berbisik-bisik di belakangku. Satu dari temanku bernama Sari, dia terhitung tua untuk terlambat menikah. Dia mulai berfikir, aku akan mencoba menggaet hati teman laki-laki yang masih lajang di kantor ini. Cibirannya dan sindirannya bertubi-tubi menghantamku terang-terangan. Sampai-sampai aku diberitakan ambil kesempatan untuk berpacaran, jika ada tugas keluar kota. Aku dicap tak punya malu, tak mau keluar biaya.
Aku sudah tak tahan dihantam Sari setiap hari, lalu ku kirim sms ke hand phone-nya. “Aku sama sekali tidak berniat menikah dengan siapapun di kantor ini, masa depan tanpa pesangon, sama sekali tidak menarik bagiku, jika ada yang mau sama kamu, silakan kamu ambil semua”, tegasku.
Sms itu disebarkan Sari ke semua teman-teman di kantor, sampai ke HRD malah Direktris dan Ownerpun membaca sms terbut dengan kesal dan membenciku.
Aku duduk di pojok ruangan IT ini sendiri perempuan, semua teman laki-laki di ruangan ini membenciku karena sms tadi dianggap meremehkan mereka semua. Aku menangis sediri di pojok ini, sementara dari ruangan sebelah Sari teriak-teriak bersahutan dengan teman-teman lainnya menghina aku, mengejek aku terang-terangan, tidak ada lagi sindiran. Di bulan Ramadhan ini kita harus berusaha menjaga hati dan kata-kata. Aku hanya bisa tak henti melafalkan tasbih di mulutku. Berharap Allah segera menyadarnya mereka semua, dan memberikan jalan terbaik bagiku. Aku hampir pinsan di kantor ini, karena malam-malam aku tidak bisa tidur memikirkan nasibku, dalam keadaan berpuasa pula.
Tiba-tiba berita baik muncul, speedy mau dipasang di kantor kami. Berarti aku bisa mencari teman buat mencurahkan semua perasaanku. MIRCpun langsung kuinstall di komputerku, berikut Yahoo Messanger. Maka tertambatlah aku pada seorang pemuda Pakistan. Perkenalan itu berlanjut dengan tukar-tukaran ID dan foto-foto terbaru kami.
Pemuda tampan dari Pakistan itu bernama Nawaz Khan, kulitnya kuning langsat, sebaris kumis rapi di atas bibirnyanya yang merah. Matanya bulat, jengan biji mata hitam kental. Rambutnya tebal hitam mengkilat. “Smart!”, sergah hatiku.
Dia bekerja sebagai pegawai negeri di negaranya. Suaranya yang lembut dan Islami menyejukkan seluruh rongga-rongga hatiku. Kami tidak hanya berbicara melalui chat di YM, tapi beberapa kali kami sempat saling telepon.
Aku terbuai, pertama kali kami hanya sebagai sahabat, maka tanpa ragu-ragu Nawaz pun bercerita kalau dia sudah punya tunangan gadis enam belas tahun bernama Seema.
Namun karena kuatnya Islam di kampungnya, sampai detik ini dia pelum pernah bertatap muka dengan calon istrinya. Hanya selembar foto yang pernah dilihatnya. Seema hafal Alquran, dan memakai cadar dalam keseharian.
Tak disangkal suatu siang, Nawaz mengirim sebuah message, I have i, I have l, I have o, I have v, I have e, can u receipt me?”
“Oh ya?, buat siapa message itu Nawaz?”, sahutku.
“Atau siapa yang kirim message itu untukmu?”, sambungku lagi.
“Temanku dari Philipina”, jawabnya.
“Acha.. acha.. “, aku menirukan dialog Pakistan.
“Koi baat nahi”, lanjutku bilang tidak apa-apa.
“Aku kira message itu untukku, ternyata hanya kamu kirim buat share denganku”, tambahku menggoda.
“O… ya… ya…, ini untukmu, tadi aku ragu mengirim untukmu, aku takut kau tolak”, lanjut Nawaz malu-malu.
“Aku menerima cintamu Nawaz…”, lanjutku malu-malu juga.
Nawaz dan aku bahagia sekali hari itu, kami ternyata saling mencintai di dunia maya. Maka bunga-bunga cintapun bertaburan di angkasa. Lalu terpajanglah deretan kata-kata yang romatis dari Nawaz sepanjang siang. Pemuda tapan dan berwajah cakep itu kini bersemayam di seberang ruang hatiku buat Rambun. Rambun yang malang tak pernah kubuang, dia masih bertahta di singgasana yang meski sekarang telah terbagi dua. Aku dan Rambun masih rutin berkomunikasi.
Siang ini aku mulai uring-uringan, ingin cepat-cepat menikah dengan Rambun. Penantian panjang kini sudah lebih dari tujuh tahun. Aku tak peduli besar kecilnya pendapatan yang diterima Rambun sebagai guru les dan tukang ojek. Itulah kemurnian cinta yang bisa kupersembahkan untuknya, dan kesediaanku menerima Rambun apa adanya.
Aku mulai mengancam Rambun di telepon.
“Rambun, kapan kita menikah?, aku tak peduli dengan penghasilanmu, jika kita tidak juga menikah, aku akan pergi ke Pakistan, di sana aku punya sesorang yang mau menikahi aku”, ucapku mengajak Rambun menikahiku segera.
“Silakan!, asal kamu tahu, aku tidak pernah rela kau menikah dengan orang lain, setelah kau hancurkan karirku, sekarang aku sudah jadi gigolo karenamu”, ucapan itu menampar hatiku dengan sangat kerasnya.
Pembicaraan itu terputus, Rambun langsung mematikan hand phonenya. Aku menjerit, tangisku pun meledak di pinggiran halaman kantorku. Aku langsung berlari ijin pulang. Sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah, aku tak berhenti mengurai tangis. Saputanganku kuremas, sudah tidak sanggup menampung air mataku yang mengucur deras. Aku ganti mukena buat lap air mataku, yang selalu tersedia di tasku.
Aku tak sabar lagi ingin cepat-cepat menepon lagi Rambun.
“Rambun, apa benar kamu sudah sering main sama Tante-tante itu?”
“Benar Puti, aku sudah bosan hidup susah”, tandasnya.
“Itu salah Rambun, mengapa sampai sehina itu kau perbuat pada dirimu sendiri?, sampai dirimu sendiri kau jual?”, aku mulai berteriak.
“Dosa!...., zina sekali saja dosa besar, apalagi terus-terusan kau lakukan”
“Aku sudah putus asa Puti”, suaranya datar saja.
Aku meraung-raung sampai pagi, terbayang di mataku semua bakal hancur. Kalaupun aku sampai menikah dengannya, sanggupkah aku bersuamikan seorang pengidap penyakit spylis, dan mungkin HIV? Kenyataan pahit itu terus kutelan juga.
Pagi pun datang, aku harus juga berangkat kerja dengan mata sembab, lagi merah bara. Seperti biasa Nawaz hadir di pucuk pagi, menyapakan dengan lebut. Aku cerita semua pada Nawaz, tentang Rambun.
“Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir”, itulah kalimat dari Nawaz yang selalu menghiburku.
Lalu aku kembali terbenam chat dengan Nawaz.
“Nawaz, bagaimana jika suatu saat aku datang ke Pakistan dan ingin menikah denganmu?”, aku mencoba mengujinya.
“O.. aku pasti akan menikahimu Puti, tapi jika aku sudah menikah ketika kau datang, maukah kau jadi istri kedua?”, tandasnya
“Aku tidak mau, aku paling benci poligami”, kataku sedih.
“Lagi pula, Puti tidak akan tahan hidup di sini dengan semua budaya yang berbeda, perempuan harus pakai cadar, dan tidak boleh pergi dari rumah, juga makanan pokok kami kadang hanya sepotong roti dengan salad, tidak ada rendang di sini Puti”, kata Nawaz melucu.
Nawaz dengan penghasilan pegawai negeri, juga tidak akan mungkin memberiku ongkos buat pulang ke Indonesia, bila aku kangen Ibu dan Saudara-saudaraku. Uang 20 juta pulang pergi, kapan bisa Nawaz berikan dengan posisinya hanya sebagai pegawai negeri. Bagiku tak masalah, toh dari pertama juga aku hanya sekedar berteman.
“Lalu kapan kau akan menikah dengan Seema?”, tanyaku
“Secepat mungkin, karena aku merasa sangat butuh istri, setelah Puti selalu bermanja-manja denganku, gairahku untuk menikah jadi terpacu”, tegasnya.
“Aku mulai membayangkan malam pertamaku dengan Seema”, lanjutnya.
“Nawaz!.... Aku benci Allah…”, kalimat dosa itu terlompat dari mulutku.
“Puti!... baca Astaghfirullah, Lailahaillaloh, Muhammadarasulullah”, sergah Nawaz.
“Kamu sudah berpaling tanpa malu dari Allah semudah itu”, tandasnya
“Puti, cepat sholat tobat dua rakaat, jika itu tidak kau lakukan, aku akan menghilang darimu selamanya, aku lebih cinta Allah dari pada kamu Puti”, Nawaz mulai marah padaku.
Aku ucapkan semua, lalu aku berlari menunaikan shalat tobat, aku salah, dan sekejap tergelencir. Semua terlalu menyakitkan, semua kepedihan itu menari-nari di benakku. Tentang Rambun yang sudah terjerumus ke lembah hitam, tentang Nawaz yang akan segera menikah dengan Seema, tentang semua teman di kantor yang sudah membenciku. Semua menghantamku, menghempaskanku pada ketakberdayaan.
Dengan tubuh terhuyung lemah, aku terus bekerja. Di satu kesempatan aku coba membuka google, iseng kutulis nama Rambun di situ, lalu apa yang kutemukan. Aku menemukan nama Rambun, lengkap dengan alamat kantor dan beberapa nomor hand phone dan nomor telepon kantor tertera di situ. Situs Komite Minyak dan Gas Indonesia.
Aku langsung mencoba menelepon salah satu dari nomor itu, suara yang sangat kukenal menjawab halloku. Rambun langsung menanyakan dari mana aku tahu nomor itu, aku ceritakan semua. Rambun tidak marah, dia hanya berpesan jangan hancurkan lagi karirnya, karena baru tiga bulan ini, dia sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan minyak di Balikpapan.
“Puti, jika kamu masih mengharapkan aku, jangan kau hancurkan lagi”, pintanya.
“Aku janji, asal kau juga janji, jangan sakiti lagi hatiku”, balasku.
“Iya, semua kita serahkan pada Allah, dia yang menentukan, Insyaallah”, lanjutnya.
Kini aku merasa lega, ternyata Rambun tidak terjatuh ke jurang hitam, dia hanya kesal mendengar ancamanku untuk lari ke Pakistan. Sekarang aku harus benar-benar berserah diri kepada Allah. Pepatah yang satu ini akan kupegang kuat-kuat “Takkan lari gunung dikejar”
Jika Rambun memang jodohku, kami pasti menikah, namun bila Rambun bukan jodohku, maka Allah akan memberikan yang terbaik buatku. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar