Kamis, 04 April 2013

Asal kata Minang Kabau MINANG KABAU SEBAGAI BIT INFORMASI DI ERA DIGITAL


Artikel oleh: Drg. Abraham Ilyas; Ketua LK. Dt. Soda; Webmaster & Admin www.nagari.org.
Pemeriksa bahasa: Drs. Bambang Trisman, M.Hum; Kepala Balai Bahasa Palembang

Milenium kedua diakhiri dengan berkembangnya teknologi digital,
yaitu teknologi yang mampu mengubah konsep informasi
nilai materi dari atom menjadi bit

(Negroponte, 1995).
1. Pendahaluan
Petikan di atas pada dasarnya memberikan informasi tentang perkembangan peradaban manusia yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi di akhir alaf kedua.
Dalam kaitan dengan itu, kita semua mengetahui bahwa peradaban bangsa-bangsa di dunia setakat ini telah berada pada era milenium ketiga.
Era tersebut ditandai oleh pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam era yang sama, umat manusia juga "merenangi" alam kesejagadan (globalisasi) yang antara lain erupakan dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Minang Kabau sebagai sistem budaya, mau tidak mau, juga akan bersinggungan dengan berbagai kemajuan tersebut.
Dalam kaitan dengan itu, penulis mencoba memberikan sumbang saran tentang penempatan Minang Kabau sebagai bit informasi dalam era digital sekarang ini.
Pemikiran tentang konsep itu penulis awali dengan melihat pemahaman atas "keadaan" atau "benda" dalam memahami sebuah fenomena yang berkaitan dengan Minang Kabau itu sendiri. Tulisan ini penulis harapkan dapat menjadi sebuah pemikiran bagi segenap orang Minang Kabau untuk melakukan "pembaharuan" dan "pembangunan" Minang Kabau.
2. Lambang dan Nilai
Dalam kehidupan masyarakat Minang Kabau, peranti-peranti adat dilambang atau diungkapkan dengan benda atau keadaan tertentu.
Di samping "keadaan" atau "benda" tertentu itu dapat dipahami secara langsung, kita perlu juga melukiskannya dengan lambang-lambang (simbol) yang memiliki nilai.
Namun, tentu saja cara seperti itu tidak dapat dilakukan terhadap Yang Khalik karena Tuhan tidak boleh dilambangkan atau dinilai.
"Keadaan" (ada) ialah informasi tentang suatu objek. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan keadaan meliputi makhluk yang nyata dan makhluk yang abstrak. Sementara itu, lambang dibutuhkan karena keterbatasan panca indera manusia untuk menangkap keadaan-keadaan yang terjadi di alam ini.
Sebuah lambang dapat dikatakan bagus jika dapat dipahami oleh khalayak dengan pengertian yang sama.
Pemahaman benda atau makhluk melalui lambang memerlukan kesepahaman, baik konvensional maupun inkonvensional.
Akan tetapi, penilaian terhadap "keadaan" atau "benda" itu idealnya menampilkan secara bersama-sama nilai kualitas dan nilai kuantitas.
Namun, dalam prakteknya, penilaian itu sering dilakukan secara terpisah antara kuantitas dan kualitas.
Cara menilai kuantitas suatu "keadaan" yang selama ini dikenal manusia adalah dengan menggunakan angka-angka bilangan yang dinyatakan secara analog atau digital.
Pada sistem digital, suatu "keadaan" dipilah-pilah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau yang disebut dengan diskrit-diskrit.
Sementara itu, "keadaan" tidak dipilah-pilah lagi ke dalam diskrit-diskrit pada sistem analog.
Sebagai contoh, jam digital yang digerakkan oleh aliran listrik membagi waktu "detik" menjadi diskrit-diskrit "detik" yang lebih kecil lagi.
Sebaliknya, jam analog atau jam yang memakai gulungan pir kawat sebagai penggerak tidak mampu lagi menetap pecahan-pecahan waktu "detik" tersebut.
Untuk melambangkan satu "keadaan" pada sistem analog digunakan satu atau kombinasi angka-angka (bilangan) mulai dari 0,1,2,3,4,5,6,7,8, dan 9.
Pada sistem digital, lambang yang dipergunakan hanya angka 0 dan 1.
Oleh karena itu, sistem digital sering disebut sebagai binary digital atau bit.
Berikut disertakan contoh penulisan nilai sistem analog dan penulisan nilai sistem digital.
Penulisan sistem
analog
Penulisan nilai dalam sistem digital
1 bit
Penulisan nilai dalam sistem digital
2 bit
Penulisan nilai dalam sistem digital
3 bit
Penilaian nilai dalam sistem digital
4 bit
0
0
00
000
0000
1
1
01
001
0001
2
10
010
0010
3
11
011
0011
dst
dst
dst
Penjelasan sistem digital ini gunanya untuk memahami pengertian nilai kuantitas dan nilai kualitas dari suatu keadaan.
Istilah tersebut belum ditemukan dalam bahasa Melayu yang banyak diserap dari bahasa Arab.
Angka 0 digunakan untuk melambangkan nilai kualitas, sedangkan angka 1 digunakan untuk melambangkan nilai kuantitas.
Dalam sistem analog, angka 1 tubuh digunakan untuk melambangkan tubuh manusia yang merupakan kesatuan antara tubuh kasar dan tubuh halus.
Sementara itu, tubuh manusia yang merupakan kesatuan antara tubuh kasar dan tubuh halus dilambangkan dengan angka 01 tubuh dalam sistem digital.
Oleh karena sistem digital menggunakan dua lambang untuk mengekspresikan satu tubuh, yaitu 0 dan 1, maka keadaan tubuh dapat dianalisis dengan menggunakan analogi-analogi yang menggunakan lambang tubuh tersebut.
Lambang 0 apabila dioperasikan (dijadikan subjek pekerjaan) saat dikalikan dengan 1 tetap akan menghasilkan angka 0 (tiada ada). Lambang 0 tetap menghasilkan angka 0 (tiada ada) jika dibagi dengan 1 atau bilangan lainnya. Sebaliknya, apabila lambang 0 menjadi pembagi dari semua bilangan, hasilnya menjadi tiada terhingga. Oleh karena itu, lambang 0 bersifat kualitatif karena tidak mampu menghasilkan nilai-nilai bilangan angka lainnya.
Selanjutnya, jika kita mengoperasikan lambang angka 1 dengan menjadikan sebagai subjek, faktor pembagi atau pengali, maka selalu akan menampilkan nilai bilangan yang dapat ditulis dengan angka (kuantitatif).
Berdasar paparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai yang dihasilkan tubuh halus dari tubuh manusia selalu bersifat kualitatif, yang terentang antara tiada ada sampai tiada terhingga. Sementara itu, nilai yang dihasilkan tubuh kasar dari tubuh manusia bersifat kuantitatif karena dapat ditulis dengan angka-angka (lambang). Inilah cupak atau takaran nan duo, dialektika yang telah dipahami oleh nenek moyang orang Minang Kabau semenjak zaman dahulu, meskipun belum menggunakan istilah kualitatif dan kuantitatif.
Nenek moyang orang Minang Kabau telah menampilkan dengan cerdas bit informasi tersebut dalam terminologi adat dan budaya Minang Kabau yang berbentuk metafora-metafora atau idiom-idiom sebagai berikut.
Dinilai secara KUALITATIF
menggunakan RASO
memakai lambang
Dinilai secara KUANTITATIF
menggunakan PARESO
memakai lambang
Minang
kabau
luhak
rantau
syarak
adat
nan dua
nan empat
budi
daya
tersirat
tersurat
tersembunyi
terlihat
cupak usali
cupak buatan
orang
manusia
Minang Kabau - baru
sumatera barat - indonesia
nagari
kota
nagari saiber
nagari nyata
Catatan:
Tiga baris terakhir merupakan wacana untuk masa kini.
Khusus untuk nagari saiber, penulis telah berusaha memulainya. Penulis berharap agar situs semua nagari dapat diwujudkan oleh orang Minang Kabau, baik yang menetap di kampuang maupun di perantauan. Harapan itu lebih khusus lagi terhadap generasi muda Minang Kabau yang terdidik. Lawan maota (sumber informasi ilmu pengetahuan) masa kini tidak lagi di palanta lapau, tetapi telah meluas ke seantero jagad.
Ketertinggalan digital berarti tidak mampu lagi melawan dunie urang.
3. Otak Manusia
Kesadaran seorang manusia berada pada otaknya masing-masing.
Manusia dianggap telah mati apabila gelombang-gelombang otaknya tidak dapat diukur lagi.
Sebaliknya, manusia masih disebut hidup apabila otaknya masih menampilkan gelombang-gelombang meskipun jantung dan paru-parunya berhenti berdenyut.
Secara fisik, otak terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri yang berbeda fungsinya.
Belahan kanan menyimpan bit informasi atau keadaan yang bernilai kualitatif, sedangkan belahan kiri menyimpan bit informasi yang nilainya kuantitatif.
Contoh sehari-hari perbedaan fungsi ini dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut.
Suatu ketika kita bertemu kembali dengan seseorang yang telah lama tidak terjalin komunikasi dengannya. Kita akan lebih mudah mengingat kembali wajahnya. Hal ini karena bit informasi bentuk wajah disimpan di otak kanan. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk mengingat namanya yang harus dieja, karena bit informasi disimpan di otak kiri.
Bit informasi di otak kanan dibantu oleh "raso" dibawa naik dari arah dada menyebabkan bayangan wajah orang tersebut mudah dikenali kembali, apalagi kita pernah memiliki hubungan pe rasa an batin dengan orang tersebut.
Apabila fisik otak telah rusak atau kurang pemeliharaannya, maka otak tersebut tak mampu meyimpan kedua jenis bit informasi tadi. Keadaan ini disebut kurang raso jo pareso.
Tadi disebutkan bahwa otak kanan menyimpan bit informasi tentang raso.
Akan tetapi, raso tidak diturunkan Tuhan di kepala.
Tuhan menurunkan raso tersebut di dada atau hati seseorang.
Raso ini berbeda ukurannya (nilai takaran) pada setiap orang.
Masing-masing orang memiliki takaran sendiri yang tidak sama dengan orang lain.
Oleh karena itu, raso disebut pula sebagai cupak asli.
Nenek moyang orang Minang Kabau menyatukan kedua cupak ini terlebih dahulu, sebelum digunakan oleh panca indera.
Hal ini disebut sebagai raso dibawa naik (ke otak kanan), pareso dibawa turun (dari otak kiri). Penganut paham atheis atau ilmuwan Barat menganggap sesuatu perasaan atau emosi (yang letaknya tak dijelaskan) dikendalikan oleh otak.
Dengan demikian, otak bagi mereka adalah segala-galanya. Sebaliknya, kelompok kebatinan menganggap hati-batin yang merasa suci adalah satu-satunya penerima petunjuk langsung dari dari Tuhan.
Penggunaan kata raso menurut falsafah adat Alam Minang Kabau adalah persatuan diantara raso batin dengan raso fisik (penglihatan, pendengaran, pembauan, perasaan di kulit/lidah). Menurut pemahaman orang Minang Kabau, raso batin tak ada gunanya apabila tidak diekspresikan pada tubuh kasar. Bukankah setiap pekerjaan panca indera kita dimulai dengan niat batin terlebih dahulu.
Tak ada dikotomi antara raso dengan pareso di dalam konsep budaya Minang Kabau.
4. Minang Kabau sebagai Bit Informasi
Penduduk yang bermukim di nagari Tanjuang Sungayang dan nagari Minang Kabau di dekat nagari Pagaruyuang di luhak nan Tuo, Tanah Datar, menyebut sumber mata air artesis di tempat mereka dengan sebutan "Minang".
Minang memiliki beberapa pancuran untuk mengalirkan airnya, sedangkan sumur mata air yang lebih kecil disebut sebagai "luak".
Kata ini sering diucapkan pula sebagai "luhak"
Sebutan luak atau luhak memiliki pengertian yang sama oleh penduduk di daerah lainnya di Sumatera Barat.
Kata Minang berasal dari kata mainang yang berarti memelihara atau ibu yang memelihara anaknya.
"Tiada kehidupan tanpa air", inilah dalil yang berlaku untuk makhluk hidup.
Berdasarkan foto-foto hasil research terhadap kristal-kristal air/es; Dr. Masaru Emoto membuktikan bahwa air membawa pesan-pesan tersembunyi terhadap kondisi jiwa manusia.

Sejak dahulu kala para Pawang hujan, Dukun penyembuh penyakit dan Peritual agama-agama menyadari bahwa air adalah makhluk hidup.
Air bisa diperintah pergi atau dipanggil.
Di puncak bukit Kasumbo (Bukit Kayu Sebatang) Anda boleh berdoa dengan khusuk dan air akan muncul ke luar menetes dari luak (luhak) bila Anda ikhlas dan bersih lahir-batin
Pada air lah Tuhan menitipkan nyawa (bukan Ruh !) makhluknya

Penilaian terhadap air, diutamakan dari segi kualitasnya. Sebagai contoh, meskipun jumlah air cukup banyak, tapi beracun maka manusia tak bisa hidup dengan air kotor tsb. Kabau atau kerbau adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan nenek moyang kita zaman dahulu.
Tenaga (daya) binatang ini sangat dibutuhkan untuk membajak atau menggarap sawah.
Sementara itu, dagingnya merupakan syarat utama untuk dihidangkan dalam pesta-pesta dat.
Semakin banyak jumlah kerbau yang dimiliki maka semakin cepat pula perkembangan masyarakat.
Kerbau lebih melambangkan pemahaman terhadap nilai kuantitas kehidupan manusia pada masa itu.
Nenek moyang kita, pada mulanya bermukim di nagari-nagari, dalam lingkungan agraris.
Mereka sadar betul akan manfaat kedua jenis makhluk ini.
Pada saat itu mereka tidak bisa hidup dan tidak mungkin dapat mengembangkan peradabannya tanpa keterlibatan kedua benda-makhluk tersebut (air-luak/Minang dan kerbau).
Oleh karena itu, muncullah metafora "Minang Kabau" untuk acuan kehidupan.

Dengan kata lain, nama "Minang Kabau" adalah metafora lambang dua nilai (kualitatif dan kuantitatif) yang selalu ada di alam ini.
Kata "Minang Kabau" tak bisa diartikan secara harfiah sebagai kegiatan memelihara binatang kerbau yang dilakukan nenek moyang kita.

Ketika nagari-nagari semakin padat dan wawasan baru perlu juga dikembangkan, maka kehadiran daerah di luar nagari asli mutlak dibutuhkan.
Nenek moyang kita kemudian menamakan daerah baru itu sebagai rantau.
Rantau bukanlah daerah asing antah-berantah yang terpisah dengan luhak. Pergi merantau tidak sama dengan migrasi.
Kata rantau mempunyai konotasi dengan air pula.
Contohnya dalam kalimat: Si Usuik hanyuik sarantau. Maksudnya si Usuik hanyut dibawa arus sungai, tidak sampai hilang betul, tapi dia masih berada di belakang satu pengkolan sungai yang berkelok-kelok.
Keberadaan si Usuik yang hanyut tsb. masih bisa ditelusuri melalui jalan darat ataupun berperahu.
Jadi "rantau" masih memiliki hubungan dengan dengan daerah asal.
Bukan tempat pemukiman antah-berantah tak punya hubungan dengan daerah asal.
Rantau tak sama maknanya dengan migrasi.
Orang Minang menyebut migrasi ini dengan merantau Cino.
Bagi orang Minang Kabau luhak akan selalu berpasangan rantau, walaupun secara fisik hal ini terkadang sulit direalisasikan.
Minang analog dengan luak atau metafora dari sesuatu sumber kehidupan manusia.
Kabau analog dengan rantau, adalah metafora dari suatu "keadaan" yang bisa membantu kehidupan manusia.
Kata-kata yang pertama nilai ukurannya bersifat kualitatif dan kata-kata yang kedua nilai ukurannya bersifat kuantitatif, seperti nilai-nilai informasi di dalam kitab Alquran amanu wa amilus sholihati atau aqimus sholata wa atuzzakata ataupun kalimat tauhid maupun kalimat syahadat kita.
Hamka dalam seminar adat 1970 menyebutkan ada tiga persyaratan untuk dapat disebut sebagai orang Minang Kabau, yaitu:
1.Memiliki nenek moyangnya yang berasal dari gunung Merapi atau nagari Pariangan Padang Panjang
2. Berkiblat sembahyang ke Mekkah.
3. Mengakui negara Republik Indonesia yang berazas Pancasila serta berdasar UUD 45.
Oleh karena orang Minang Kabau tak ada yang mau disebut "tak tahu diampek", maka perlu ditambahkan satu persyaratan lagi yaitu, orang Minang itu harus "tahu diampek".
Seandainya empat persyaratan ini telah terpenuhi dan diakui keberadaannya pada diri seseorang, maka orang tersebut baru dapat disebut sebagai orang Minang Kabau dan sekaligus sebagai manusia Indonesia.
Dari kalimat yang terakhir itu dapat dilihat perbedaan antara "orang" dengan "manusia". Tidak semua manusia mengerti dan bisa menjadi orang.
Apakah perlu menjadi menjadi "orang" khususnya menjadi orang Minang, silakan jawab sendiri sesuai dengan raso-paresonya masing-masing.
5. KRONOLOGIS TERJADINYA ISTILAH Minang KABAU
Tulisan ini akan memaparkan munculnya kesadaran "Orang" bahwa pada hakekatnya bumi ini adalah sawah yang tanahnya liat/keras dan memerlukan "Kerbau" sebagai alat bantu untuk mengolahnya serta "Minang" sebagai sumber kehidupan "Manusia".
ini gambar peta 4 
nagari binary
Keterangan gambar :
Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagaruyuang.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda, keempat nagari ini berkelompok secara adat.
Setelah perang Padri berakhir, Belanda menyatukannya dengan sebutan kelarasan Tanjuang.
Mn = Lokasi keberadaan Minang, sumber aie nan janieh (mata air hexagonal)
Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagarruyuang
1 = Nagari Tanjuang-Sungayang
2 = Nagari Talago-Sungaipatai
3 = Nagari Andaleh-Baruahbukik
4 = Nagari Sawahliek-Singkayan ---> nagari inilah kemudian yang berganti nama menjadi Minang Kabau
5 = Nagari Pagarruyuang
6 = Nagari Suruaso
7 = Nagari Kototangah
8 = Nagari Tanjuangbarulak
Luhak nan Tuo terentang di antara gunung Merapi, gunung Singgalang dan gunung Sago.
Di lembah-lembah sempit di antara ketiga kaki gunung tersebut, manusia membangun komunitas-komunitas untuk memajukan peradabannya.
Dengan topografi semacam ini, maka banyak ditemui mata-air yang ke luar langsung dari perut bumi, dan selanjutnya air itu mengalir ke hulu-hulu sungai yang umumnya bermuara ke timur pulau Sumatera.
Komunitas-komunitas asli ini (menurut tambo asalnya dari benua Ruhum, keturunan Iskandar Zulkarnain) menamai teritori mereka dengan sebutan nagari.
Kata nagari juga dipakai di India, Jawa dan di tempat lainnya.
Setiap nagari telah terorganisasi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan anak-nagarinya (warga negara) masing-masing.
Ibarat negara-negara kecil, maka setiap nagari adalah republik merdeka yang tidak diperintah oleh kekuasaan luar, bersifat demokratis dan saling menjaga hubungan baik di antara sesama (Cupak salingka batuang, pusako salingka kaum, adat/peraturan salingkuang nagari).
Tanah dan air di suatu nagari adalah suci dengan sebutan "tanah tumpah darah", tidak boleh dimiliki orang asing/diperjual-belikan.
Orang asing dimungkinkan berdomisili di suatu nagari asalkan mau malakok (menempel) atau menjadi kamanakan dari "urang nan barasa".
Anggota masyarakat dikelompokkan berdasarkan geneologis kaum dan suku.
Umumnya di setiap nagari terdapat lk. 20 sampai lk. 30 orang yang bergelar datuak.
Setiap kaum dipimpin oleh datuaknya masing-masing, yang biasanya memiliki gelar kebesaran dan bersifat turun-temurun.
Dari sebutan gelar datuak, tergambar kebesaran/harga diri dari kaum itu sendiri, misal: Datuak Maharajo Dirajo, Datuak Manjinjiang Alam, Datuak Paduko nan Bagalang Kaki Ameh dsb.
Setingi-tinggi/ sebesar-besarnya raja di Minang Kabau, dia hanyalah berkuasa terhadap lingkungan kaumnya saja!
Atau duduak samo randah, tagak samo tinggi.
Melihat jumlah pangulu-pangulu asli yang bergelar datuak di suatu nagari, maka diperkirakan dahulunya suatu organisasi negara orang-orang Minang Kabau jumlahnya hanya untuk mengatur sekitar 500 sampai 3000 orang.
Suatu nagari tak pernah menaklukkan nagari lainnya guna merebut tanah atau untuk meminta upeti kepada mereka.
Kualitas kehidupan kamanakan (di Jawa disebut kawula atau rakyat) di suatu nagari lebih diutamakan daripada kuantitas (jumlah).
Di jaman moderen, pemikiran semacam ini diaplikasikan berupa pendidikan/program keluarga berencana (berkualitas), penghormatan kepada individu (HAM), kepemimpinan masyarakat/negara yang tidak-sentralistik (demokrasi), peningkatan kualitas SDM (kesehatan-pendidikan).
Kini orang Barat baru menyadarinya, dan ahli ekonomi mereka, E. F. Schumacher mempopulerkan pemikiran ini dengan kalimat: small is beautifull. Manusia (SDM-HDI) menjadi tolok ukurnya.

Pemikiran semacam ini sangat berbeda dengan pemikiran (konsep) yang hendak menjadikan segalanya serba besar (megalomania).
Padahal sebaik-baiknya ucapan manusia adalah "Allahu akbar"
Implementasi megalomania ini berupa pembentukan imperium/negara mahaluas, firaunisme, militerisme.
Kini megalomania tersebut berubah bentuk menjadi konglomerasi/monopoli oleh merek-merek (industri) besar, hedonisme, selebritisme yang berakibat pada penjajahan manusia oleh manusia, perbudakan/prt, pelacuran, dan korupsi.
Pada abad ke 14 pernah dicoba dibangun kerajaan Pagarruyuang oleh Adityawarman tapi prakteknya tidaklah bisa berubah menjadi kerajaan/imperium besar seperti kerajaan-kerajaan di Jawa atau di daerah-daerah lainnya.
Selanjutnya pada permulaan abad ke 19 dilakukan pula penyatuan ideologi di nagari-nagari dengan menerapkan paham Wahabisme, maka akibatnya timbullah perang Paderi.
Belanda mengambil kesempatan ketika terjadi perang di nagari-nagari tersebut.
Kompromi dicapai melalui perdamaian budaya dengan memunculkan adagium peradaban:
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Syarak nan batilanjang, adat nan basisampiang.
Syarak babuhua mati, adat babuhua sentak.
Syarak balinduang, adat bapaneh.
Syarak mangato, adat mamakai
Syarak mandaki, adat manurun
Syarak yang lazim, adat nan kawi.

Sesudah perang kemerdekaan, pemerintah Pusat (dibawah kepemimpinan rezim Soekarno) dengan konsep demokrasi terpimpinnya/kekuasaan yang otoriter telah menimbulkan reaksi keras pula di daerah ini berupa pergolakan daerah.
Pergolakan ini didukung oleh hampir seluruh elemen masyarakat/rakyat di nagari-nagari dan juga daerah lainnya di Indonesia.
Padahal pembentukan negara/bangsa Indonesia pada mulanya dipelopori oleh para pemikir yang sebagian besar berasal dari daerah ini.
Inilah pengalaman berorganisasi orang Minang Kabau yang terekam di dalam budaya dan sejarahnya.
Asal kata "Minang Kabau" bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan Pagarruyung yang mempopulerkan ranah "Aie nan Janiah dan Kabau di Sawahliek"
Berikut paparan konsep-konsep pemikiran yang mendasari asal kata Minang Kabau :
1. Hampir seluruh pangulu-pangulu (urang nan barasa) di luak nan Tigo serta di daerah rantau mengakui nenek-moyang mereka berasal atau turun dari Pariangan Padang Panjang di lereng gunung Merapi.
Mungkin gunung Merapi adalah gunung tertinggi tampak dari segenap penjuru dan yang paling aktif di antara gunung lainnya di luak nan Tigo.
Umumnya setiap nagari memiliki cerita lisan turun-temurun yang mengisahkan perjalanan nenek moyang mereka dari Pariangan Padang Panjang menuju nagarinya.
2. Konsep bilangan binary (menggunakan gabungan antara dua lambang saja, yaitu 0 dan 1) dalam memahami kehidupan di dunia ini biasanya menjadi acuan dialektika budaya Minang Kabau.
Tak terkecuali ketika menamakan nagari-nagari dengan gabungan dua kata yang berbeda sifat nilainya.
Demikian pula halnya menamakan gabungan semua nagari-nagari dengan menyebutnya sebagai Minang kabau.
Minang sifat nilainya adalah diutamakan kualitatif, sedangkan kabau sifat nilainya diutamakan kuantitatif.
3. Sebelum istilah HAM dipopulerkan oleh PBB, nenek moyang orang Minang Kabau telah empraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di setiap nagari orang bebas berpikir, bebas berbahasa, bebas berpendapat sesuai dengan raso dibao naiak, pareso dibao turun maka demikian pula kebebasan ini mereka pakai pula untuk menamakan air.
Mereka menyadari air atau aia adalah segala-segalanya untuk kelangsungan hidup.
Tanpa air tiada kehidupan.
Di nagari Tanjuang-Sungayang dan nagari Sawah Liek-Singkayan, sumber air yang ke luar dari perut bumi disebut sebagai Minang.
Di nagari Baringin (Tanah Datar) disebut sebagai kiambang dan pincuran-tujuah.
Di nagari Sungai Patai disebut talago.
Di nagari Tabek Patah disebut sebagai talago ( pakiah), aia (nangguak) dan aia (taganang).
Di Payokumbuah disebut batang (tabik).
Di Padang Panjang disebut lubuak (mato kuciang).
Di Lubuak Basuang disebut pincuran tujuah.
Di Sungai Janiah (Agam) disebut sebagai talago (sati).
Mata air yang lebih kecil disebut sebagai luak atau sumua.
Kata-kata air, sumur, lubuk, dan telaga telah masuk ke dalam KBBI.
Air artesis besar belum ada sebutannya di dalam KBBI dan kata Minang pantas untuk dimasukkan ke dalam KBBI.
4. Sebelum munculnya kerajaan Pagarruyuang, di luak nan Tuo ada gabungan empat nagari binary yang mengakui satu keturunan (sejarah nagari Tanjuang 1951, 1954, 1975) yaitu nagari Tanjuang-Sungayang, nagari Andaleh-Baruahbukik, nagari Talago-Sungaipatai, nagari Sawahliek-Singkayan.
Permulaan perluasan ke empat nagari binary ini dari nagari Tanjuang. Empat nagari binary ini berbatasan langsung dengan nagari (pusat kerajaan) Pagarruyuang.
Asal kata Minang Kabau bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan tersebut yang mempopulerkannya.
5. Pada angka 3 di atas dijelaskan bahwa penduduk nagari Tanjuang dan nagari Sawahliek menyebut sumber mata air bumi dengan sebutan yang sama yaitu "Minang".
<--foto air Minang, kini dijadikan sumber air PAM.
Luak atau luhak adalah sebutan lainnya untuk sumber air yang keluar dari bumi dan luasnya lebih kecil dari Minang.
Kedalaman luak antara 20 sd. 30 cm, sedangkan permukaan airnya lebih rendah (kurang) dari permukaan tanah.
Dengan demikian makna kata luak atau luhak adalah air pula.
Saat penduduk masih terkonsentrasi hidup bertani di nagari Tanjuang yang ada Minangnya, orang belum membutuhkan kabau.
Di Tanjuang terdapat banyak sungai sehingga tidak ada yang namanya "sawah liek" atau sawah yang tanahnya keras/liat (tak ada pengairan).
Kabau belum dibutuhkan manusia ketika itu.
Dengan Minang saja manusia bisa hidup layak sambil mengolah sawahnya yang tanahnya tidak liat.
6. Berbeda keadaannya di nagari Sawahliek-Singkayan.
Di sini ada Minang (sumber air) tapi sungainya jauh di bawah.
Pertanian di sawah yang tanahnya liat sangat membutuhkan kabau sebagai alat bantu.
Untuk mengolah tanah tak bisa dengan mengandalkan tenaga pisik manusia saja.
Saat itulah muncul kesadaran anak nagari bahwa tanah (bumi) perlu diolah dengan menggunakan bantuan alat (tool) bantu berupa kerbau penarik bajak.
Pada hakekatnya bumi ini adalah sawah milik manusia yang tanahnya liat/keras.
Maka populerlah ketika itu binatang kabau sebagai alat bantu yang bisa memajukan pertanian (peradaban).
Kemudiaan nagari Sawahliek berubah sebutan menjadi nagari "Minang Kabau" hingga hari ini.
Nagari ini beserta nagari bekas pasangan binarynya (Singkayan) berbatasan langsung dengan pusat kerajaaan Pagarruyuang.
7. Berkat jasa kerajaan Pagarruyuang (yang tidak menguasai secara pisik nagari-nagari di sekitarnya) menyebut daerah ini sebagai luak (air) atau Minang kabau.
Kerajaan Pagarruyuang mempublikasikan ke mancanegara bahwa kekuasaanya berada di luak atau di Minang kabau.
Anak-nagari di daerah ini, sebagaimana juga manusia lainnya di muka bumi ini selalu membutuhkan Minang untuk hidup dan kabau sebagai alat bantu memajukan peradaban.
Ketika peradaban memasuki era industrialisasi, kabau berubah menjadi mesin-mesin atau benda-benda lainnya yang sangat dibutuhkan manusia di manapun dia berada.
Pada hakekatnya seluruh umat manusia adalah Minang Kabau.
8. Metafora Minang agar dipahami dengan otak kanan, serta kabau dengan otak kiri.
9. Pada akhirnya, kebenaran asal muasal kata Minang kabau semata mata kembali kepada Allah Wa allohu aklamu bish showab, dan yang benar hanya pada Allah.
Minang Kabau memiliki makna metafora : Memelihara kehidupan dan memajukan peradaban

6. Penutup (Nan Ampek sebagai Adat) Kesadaran pada nilai kualitas yang menjadi acuan kehidupan moyang kita yaitu sifat aie nan janiah sebagaimana telah dibuktikan pula oleh research oleh Dr. Masaru Emoto perlu dipahami oleh generasi muda.
Selanjutnya pemahaman dan penggunaan nilai-nilai kuantitas dari sesuatu keadaan yang telah menghasilkan kemajuan tehnologi, kini lebih banyak dimanfaatkan oleh orang Barat, Jepang, Cina.
Syarat utama untuk mengerti nilai kuantitas adalah keharusan kita mendalami ilmu arithmatika dan mathematika.
Bilangan empat dapat diartikan secara harfiah maupun secara metafora.
Hal ini untuk menunjukkan betapa pentingnya pemahaman serta penggunaan nilai kuantitas di dalam kehidupan orang Minang. Nan empat merupakan pengembangan sistematika dialektika nan dua di dalam adat dan kebudayaan Minang Kabau.
Mengapa harus menjadi nan empat, tidak bilangan lainnya yang dipilih, silakan kunjungi situs-situs pada menu Dialektika, Logika, Sistematika ( 7 link situs berisi beberapa ratus file html).
Arithmatika dan matematika harus menjadi prioritas di dalam pendidikan generasi muda Minang Kabau ke depan.
Secara konseptual, ini telah ada. Mengapa tidak direalisasikan mulai dari sekarang
Nagari merupakan basis budaya Minang Kabau, nagariku adalah negaraku, negaraku adalah nagariku. Tanpa nagari Minang Kabau hanyalah bit informasi saja.
Oleh sebab itu, setiap nagari harus bersaing atau berfastabichul chairat menghasilkan "anak-nagari atau orang-orang yang tahu diampek zaman digital", dan juga paham hakekat kata Minang Kabau itu sendiri.
Harus ada program tahu diampek yang berisi rencana, target, pendanaan dari masing-masing komunitas nagari yang bisa dibaca, dikelola melalui situs nagari saiber masing-masing dengan melibatkan seluruh warga di kampuang maupun di rantau .
Wa allahu aklamu bis showab, dan hanya pada Allah kebenaran itu ada.
Masing-masing diri kita, telah diberi hidayah untuk maraso serta mamareso alam takambang nan benar ini.
Pada saatnya kita akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Esa penggunaan kedua hidayah tersebut sesuai dengan Quran surat 2 ayat 281, ayat terakhir diturunkan Allah kepada nabi kita.
Wattaqu (taqwalah-takutlah kamu) pada hari kamu dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikitpun tidak akan dirugikan.
Rasanya makalah ini kurang lengkap apabila tidak disertai sebuah pantun.
Salju mencair di kota Berlin
Tandanya semi akan tiba
Di dalam lahir tersimpan batin
Di dalam batin berhakikat pula.

Pergaulan dunia maya harus segera ditanggapi.
Selain sebagai sarana untuk mencapai kemajuan, juga untuk menghindari hak milik, warisan budaya kita tidak diambil oleh orang lain. Cupak diganti urang manggaleh, jalan dituka urang lalu.
Sebagai contoh: saat ini kata "nagari" dipakai oleh orang lain untuk menampilkan informasi yang tak sesuai dengan adat kita.
Bukan tak mungkin istilah-istilah warisan budaya Minang lainnya akan diambil orang pula untuk keperluan yang sifatnya negatif.
Dalam dunia internet berlaku hukum: Siapa cepat, dia mendapat.
Kita juga perlu dan bisa membangun komunitas Minang lainnya di dunia maya dengan basis pekerjaan-profesi.
Misalnya Komunitas Jaringan Rumah Makan Minang se Dunia dll.