Selasa, 26 Februari 2013

Minang Beda dengan Padang

Oleh: Jimmi VIlli (Sutan Rajo Nan Sati)
Minang berartikebenaran, kerbau sebaliknya. Jadi Minangkabau artinya “menang dengan kebenaran”. Orang Minang bisa tulis baca setelah masuk ajaran Agama Islam. Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir ini, terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Minang. Perubahan itu, ibarat kata pameo; jalan lah diasak urang lalu, cupak lah diganti dek urang panggaleh. Maksud dari tulisan ini tak lain dan tak bukan untuk sekedar menggugah hati Saudara-saudara saya di Alam Ranah Minang, agar sama-sama menyadari perubahan tersebut untuk dicarikan solusinya ke depan.
Untuk menjadi pemimpin seseorang harus memenuhi syarat utama sebagai berikut :
v Bagalanggang di mato urang banyak, maksudnya seseorang pemimpin harus memiliki track record yang tidak diragukan oleh khalayak ramai tentang prestasi yang pernah diraihnya bukan ditender oleh partai.
v Basuluah matoari, yaitu kesuksesan sang pemimpin harus dikenal oleh orang banyak bukan hanya oleh kelompok-kelompok tertentu saja, agar sang pemimpin dapat diterima oleh pengikutnya tanpa adanya keragu-raguan.
Ibarat pepatah Minang
Baranang kabau dalam tabek (berenang kerbau dalam kolam)
Didalam tabek digigik lintah (didalam kolam digigit lintah)
Kok panghulu indak tahu kato nan ampek (bila pemimpin tidak tahu kata yang empat)
Balunlah buliah mamarentah (belum bisa dia memerintah)
Selama ini, Sumatera Barat yang dikenal lumbung pendidikan berbudaya apakah benar-benar sudah berbudaya? Atau membudayakan pendidikan ke arah negatif?
Namun sayang, sosok orang pintar yang disegani tinggal tidak seberapa. Ini adalah buah dari pendidikan yang salah. Kenakalan remaja jadi menu setiap hari. Tapi pernahkah kita mendengar kenakalan orang tua. Padahal, kenakalan orang tua (pemimpin) lebih dahsyat lagi. Melakukan korupsi dan selingkuh.
Selalu Ingin Lebih Baik
Istana Negara Tri Arga, dulunya diagung-agungkan sekarang disulap jadi sebuah Hotel Novotel. Padahal, Istana Tri Arga yang terletak di jantung kota Bukittinggi, punya nilai sejarah yang sangat tinggi, JASMERAH kata almarhum Soekarno. Disana, ada sekolah rakyat, tempat bersekolahnya Proklamator RI, Bung Hatta. Tak hanya itu, juga terdapat kantor pengadilan yang pernah mengadili tokoh-tokoh perjuangan.
Namun sungguh amat disayangkan, ketika itu Gubernur Sumbar, ikut memuluskan ketika sebuah Istana disulap jadi hotel milik swasta. Dan kemana raibnya dana kompensasi tanah tersebut. Ada juga yang bertanya, kenapa sampai sekarang fasilitas umum, Istana Tri Arga, dijadikan Hotel Novotel. Padahal namanya Istana Negara RI wajib dijaga kelestariannya, bukan dijadikan tempat bisnis.
Percuma saja memiliki Profesor dan Doktor yang jumlahnya segudang dengan biaya pendidikan ditanggung negara. Tapi hanya bisa bicara dari warung ke warung. Bukannya berbuat untuk kebaikan negara. Sampai pabrik Semen Indarung diakuisisi, masyarakat minang mainbau MUI, LKAAM, Ormas lainnya dan Publikasi ribut-ribut setelah keluar komisi dan mendapat jabatan posisi tidak terdengar suaramu lagi. Walaupun bertukar namanya PT RAJAWALI untuk menyenangkan hati. Dasar Bangsa Kaki Lima, itulah namanya.
Presiden pilihan rakyat SBY adalah sosok yang pintar, bukan orang pandai yang gila sanjungan dan hormat. Orang pintar seperti : Alm. Bung Hatta, Alm. Buya Hamka, Prof. Emil Salim, Jendral Sudirman (Alm), Tuanku Imam Bonjol (Alm) dan sebagainya begitu disegani keberadaannya, dan perhatikanlah!! bagaimana para orang-tua mendidik anak-anaknya supaya dapat seperti mereka-mereka itu di kemudian hari nantinya.
Dua kerusakan mendasar dalam masyarakat kita saat ini adalah kerusakan nagari dan kerusakan tapian. Artinya, kerusakan itu terjadi dari yang kecil dan sangat pribadi yaitu tapian (tempat mandi). Kerusakan lebih luas dan besar, yaitu nagari sebagai wadah bermasyarakatnya orang Minang. Untuk melihat sejauhmana kerusakan tersebut, ada baiknya kita telusuri mulai dari tunjuk ajar yang sering kita dengar dalam berbagai pertemuan kaum maupun pertemuan nagari. Tunjuk ajar itu adalah; rusak nagari dek pangulu, rusak tapian dek nan mudo. Hal itu memang sedang terjadi, dua kerusakan sekaligus.
Pada tahun 80-an, lahir lagu kocak yang dibawakan almarhum Syamsi Hasan, tembang Minang itu cukup populer dan meledak di pasaran. Kaset yang diproduksi Tanama Record itu seolah-olah menyindir kehidupan masyarakat Minang yang sudah lari dari Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Bahkan, pertanda daerah ini sudah diambang kehancuran.
Padahal, saat itu sosok Syamsi Hasan yang juga pegawai negeri merasakan tanah kelahirannya Sumatera Barat hancur gara-gara kepemimpinan salah arah. Dimana-mana terjadi ketidakberesan, oknum pejabat yang dekat dengan pemilik kursi nomor satu di rumah Bagonjong, menikmati enaknya mengeruk keuntungan pribadi. Zaman itu, tidak ada yang berani bersuara vokal untuk menentang perbuatan bejat sang pejabat atau pemerintah yang salah jalan. Maka Syamsi Hasan, dengan gayanya sendiri mencoba lewat lirik lagu sebagai bahasa kiasan. Tujuannya, agar rakyat lebih arif, namun dengan lirik lagu itu banyak yang tak mengerti. Seperti judul lagu, Lego Pagai, menantu dengan mertua, anak dengan ayah, mamak dengan kemenakan pada berantam. Kemudian urang sumando bertingkah macam-macam. Ini tak lain, karena banyaknya orang jadi sumando di tanah Minang dan banyak pula perangainya. Seperti sumando berasal dari suku Batak, maka terciptalah lirik lagu Sopir Batak Stokar Kaliang, artinya, suku dari utara itu cuma bisa bersuara keras dan lantang, sedangkan stokar orang Kaliang pintar bicara tapi hasil tak ada. Jadi ada pameo mengatakan, lidahnya seperti urang kaliang.
Kondisi Ranah Minang makin rusak, karena tidak ada lagi penghargaan bagi Bundo Kanduang. Kaum wanita yang begitu diagungkan di Ranah Minang mulai melakukan perbuatan tidak senonoh. Maka lahirlah lagu Saleha. Lirik ini menceritakan bagaimana seorang wanita yang tidak setia dan selalu berbohong dengan kekasihnya. Kemudian, tak terhitung banyaknya orang Boco Aluih, terutama niniak mamak yang seenak perutnya memberikan gelar Datuak kepada orang-orang berduit. Sebetulnya, mereka itu tidak pantas dengan gelar yang disandang itu. Hal ini disebabkan, niniak mamak lebih mementingkan keuntungan pribadinya dibandingkan untuk kaum sendiri. Bahkan, tidak segan-segan berantam dengan anak kemenakan soal tanah. Karena matanya sudah silau dengan harta duniawi yang tidak bisa dibawa mati.
Di masa pergerakan kemerdekaan, para perantau Minang sudah sukses sebagai tokoh pergerakan nasional hingga Indonesia merdeka. Sebut saja beberapa contoh, Alm. DR. Haji Abdullah Ahmad (PGAI), Bung Hatta (Alm), Agus Salim (Alm), M Yamin ( Alm), Mr. Assaad (Alm), M. Natsir (Alm), Tan Malaka (Alm), Sjahrir (Alm), dan lain-lain. Sejumlah pebisnis Minang yang besar di rantau juga sempat membesarkan bisnisnya di kampung, seperti : NPM, HZN, dan ANS. Begitu pula di bidang perhotelan seperti Hotel Dimens dan Hotel Denai. Untuk menggerakkan roda ekonomi daerah, para pedagang Minang yang telah sukses di rantau bersepakat pula mendirikan Bank Nasional (Banas) di Kota Bukittinggi Bank ini merupakan bank pertama di republik ini. M. Ruzuar (alm.) (Wowo Group) dealer mobil Dodge, Fiat, Jeep, Ford, Pabrik dan Ekspor Impor, Hadis Didong, Pabrik Minyak Goreng dan Pabrik Sabun. H. Hasyim Ning (Alm) pengusaha nasional.
Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun, Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun. Kok jadi bujang ka Pakan, iyu bali balanak bali, Ikan panjang bali dahulu, Kok jadi bujang bajalan, ibu cari dunsanak cari, Induk samang cari dahulu. Maka dari itu kehidupan di rantau kita jadikan guru untuk memimpin kampung halaman, bukan sebagai pengajar.
Dalam pemerintahan daerah dan perguruan tinggi, sejumlah tokoh Minang juga berhasil dalam karirnya, seperti; Di zaman Prof. Harun Zain ada nama seperti Prof. Mawardi Yunus, Prof. Firdaus Rifai, Prof. Yacub Isman (Alm), Prof. Djamil Bakar (Alm), Ismail Lengah (Alm), Prof. Mahmud Yunus (Alm), Prof. Asnawi Karim (Alm) Achjarli A Djalil, SH, Prof. Alfian Lains, Prof. Herman Sihombing (Alm), Prof Hendra Esmara (Alm), dan sebagainya. Di masa itu juga ada nama Dokter H. Ali Akbar (Alm) yang mendirikan perguruan tinggi dan rumah sakit YARSI. Di kalangan artis Hj. Erni Djohan, Hj. Elly Kasim, Nuskan Syarif (Alm) artis ibukota. Sementara di era Azwar Anas, muncul nama-nama seperti; H. Karseno, Drs. Sjoerkani (Alm), A. Kamal, SH (Alm), Prof. Ir. Tamrin Nurdin, Anas Malik (alm), Nur. B. Pamuncak (alm), Yanuar Muin, Syahrul Udjud,SH, Sabri Zakaria, Ir. Zulfi Syarif, Prof. Amir Syarifudin, Drs. Tasnim Dahlan (Alm), Drs. Amir Ali (Alm) (Dinas P & K Sumbar), Drs. Aristo Munandar (sekarang Bupati Agam), dan lain-lain. Dalam bidang bisnis, orang Minang yang cukup sukses membuka usaha di daerah ini seperti Sutan Kasim (Alm) mendirikan PT Sutan Kasim/Suka Fajar, Kasuma (Alm) dan Anas Lubuk (Alm) yang membesarkan Harian Haluan, S. Dt. Pangeran (Hotel Pangeran’s), H. Amran (Baiturrahmah), Gusman Gaus (Alm) (perkayuan) serta Indomar Asri (Grafos), Basrizal Koto (Minang Plaza), H. Syamsudin (Hotel Rocky). H. Aminuzal Amin, H. Bustanul Arifin, pengusaha nasional. Jenderal Polisi Awaluddin Djamin, Mayjend TNI Syamsu Djalal, Prof. Emil Salim.
Berbeda dengan yang besar di daerah yang ditunjuk sebagai pemimpin, dia punya kelompok dan perangai sehingga dalam mengambil keputusan tak netral. Aspek negatifnya menonjol termasuk mengangkat staf bukan berdasarkan mutu dan kualitas dalam bekerja unsur pertemanan yang lebih dominan. Sekarang yang dimaksud dengan kerusakan nagari tentunya kerusakan adat istiadat. Umpamanya kok limbago ka dituang, adaik ka diisi, raso jo pareso nan manipih. Mamak lah bak kato mamak, kamanakan lah bak kato kamanakan. Itulah yang terjadi di alam Minangkabau sekarang.
Jujur dalam pengabdian, namun dalam pembagian bagaimana hasilnya…? Orang perantau mengapa lebih sukses dan berhasil…? Apalagi kalau memimpin kampung halaman. Adapun perbandingan yang bisa kita ambil hikmahnya, yakni : Masyarakat pendatang atau perantau biasanya mereka rajin, sabar, mau belajar, mau melihat lingkungan sekitarnya, mau mendengar nasehat dan cerita pengalaman dari orang tua, berhemat tidak boros dan sebagainya. Sedangkan masyarakat asli atau penduduk setempat itu lebih cenderung malas bekerja, mereka lebih suka disanjung atau dihormati tidak mau mendengar nasehat orang tua, punya watak atau karakter sok tahu, lebih senang menceritakan kejelekan orang lain, tidak mau mengkoreksi diri.
Minangkabau tak Putus Dirundung Petaka
Indak dapek sarimpang padi
Batuang dibalah ka paraku
Indak dapek sakandak hati
Kandak Allah nan balaku

Belum habis air mata atas terbakarnya Istano Basa Pagarayuang karena ditembak petir pada 27 Februari 2007 pukul 19.46 WIB, air mata anak nagari Minangkabau menetes lagi. Alam takambang yang (dulu) jadi guru, kini tak lagi bersahabat. Rangkaian gempa besar akibat pergerakan Patahan Semangko, telah meluluhlantakkan sejumlah daerah di ranah bundo ini. Menangislah, bila air mata masih bersisa.
Bumi berguncang hebat, suara gemuruh membahana, pekikan histeris ketakutan sontak berderu deram seiring rubuhnya berbagai bangunan. Adalah gempa berkekuatan 6,3 Skala Richter (SR) --versi United State Geological Survey (USGS)-- atau 6 SR versi Badan Meteorologi Geofisika (BMG) yang berpusat 10 km barat laut Batusangkar yang jadi pemicunya. Suasana bagaleboh (panik dan mencekam), begitu guncangan hebat ini dirasakan menggetarkan tanah yang dipijak.
Di Padang, warga kota langsung panik dan berlarian ke sana kemari. Ribuan kendaraan langsung memenuhi ruas jalan yang memicu kemacetan besar-besaran di sejumlah lokasi. Mereka ingin menyelamatkan diri dari kemungkinan terjadinya tsunami. Sebagian lagi tetap bertahan di rumah, rumah sakit, gedung perkantoran, sekolah, pusat perbelanjaan, dan fasilitas publik lainnya sembari menunggu informasi dan kemungkinan gempa susulan.
Ketidakpastian pusat gempa dan trauma tsunami Aceh, jelas menjadi pemicu kepanikan. Akses informasi putus, HP menjadi tak berguna karena sulit menghubungi dan dihubungi, listrik padam, jalanan macet, tak jelas mau lari kemana, sehingga sebagian memutuskan pasrah menerima kemungkinan terburuk.
Kepanikan berlangsung hampir setengah jam, karena belum adanya informasi pasti soal pusat gempa dan skala kekuatannya. Yang ada di benak warga, gempa besar itu berpusat di laut yang tentu saja bisa memicu munculnya tsunami, mengingat Kota Padang sendiri memang berada di bibir pantai. Maka maklum sajalah, bila semuanya pada lari sejauh mungkin dari bibir pantai menuju ke daerah ketinggian seperti Limau Manih, Indaruang, Gunuang Pangilun, walau pada akhirnya lari itu akhirnya tersandung macet di sana-sini.
Kepanikan berangsur kurang, setelah sejumlah petugas Dinas Kesejahteraan Sosial, Penanggulangan Banjir dan Bencana (DKS-PBB) Kota Padang yang menggunakan mobil rescue hilir mudik menyampaikan informasi pusat dan skala gempa. "Kemungkinan tsunami kecil, karena gempa berpusat di Batusangkar! Jangan panik, tetap waspada," begitu teriak mereka dari corong pengeras suara yang sedikit melegakan warga.
Gempa susulan terus ada dengan guncangan yang lumayan besar. Dari data BMG, sebelum gempa besar itu, sebenarnya sudah ada gempa berkekuatan 5.8 SR pada pukul 08.49 WIB yang berpusat di 19 km selatan Bukittinggi dengan kedalaman 33 km. Disusul gempa berkekuatan 5,3 SR di 285 km barat daya Pariaman dengan kedalaman 427 km. Setelah itu, barulah gempa besar Batusangkar tersebut menghoyak kuat. Disusul gempa-gempa lanjutan berkekuatan 5,3 SR pada pukul 13.13 WIB di 50 km timur laut Payakumbuh, gempa 5,6 SR pada pukul 15.08 WIB di 214 km barat daya Padang, gempa 5,4 SR di 14 km tenggara Bukittinggi pada pukul 17.53 WIB. Hingga malam, pukul 21.23 WIB muncul gempa 5,2 SR di 14 km barat laut Batusangkar dan disusul gempa-gempa kecil lainnya.
Tulisan selengkapnya dapat dilihat di blog ayahdisya

Rahasia Illahi Pasca Gempa Sumbar
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
"... Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran
Allah bagi kaum yang berpikir
" (QS. al Baqarah:164).
Gempa besar yang melanda Sumbar pada 6 Maret 2007 lalu, menyisakan cerita kebesaran Illahi Rabbi. Di samping menunjukkan kedigdayaannya sebagai penguasa semesta yang berbuat sekehendaknya, Allah juga mengukuhkan kebesarannya kepada para umatnya melalui penampakan awan yang berlafadzkan namaNya dan RasulNya. Subhanallah!
Bila pada bencana gempa dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 silam, muncul penampakan hempasan ombak berlafadzkan Allah, di Sumbar kejadian serupa tapi tak sama, juga terjadi. Adalah Kevin, pelajar kelas VIII G (kelas 2) SMPN 8 Padang yang pertama kali melihat keagungan Rabbnya itu.
Beberapa menit pasca guncangan gempa yang terjadi pada pukul 10.49 WIB dengan kekuatan 6,3 SR (versi USGS) atau 6 SR (versi BMG), dia bersama teman-teman dan gurunya berkumpul di halaman sekolahnya untuk mendengarkan tausiyah sekaligus dzikir bersama guna meredam kepanikan. Di bawah bimbingan guru agama, Muhammad Kosim LA, dengan penuh kekhusyu'an mereka semua mengikuti tausiyah itu. Dzikir dengan melafadzkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil dikumandangkan, untuk mengobati hati yang tengah didera rasa takut atas kejadian gempa yang baru beberapa menit berlalu.
Di saat itulah, atas kuasa Illahi, Dia menunjukkan kekuasaanNya. Secara tiba-tiba gumpalan awan membentuk tulisan Allah. Kejadian di luar dugaan tersebut, disaksikan dengan mata telanjang dan dalam keadaan sadar oleh Kevin. Saat itu, jam menunjukkan pukul 11.15 WIB. Tak percaya dengan penglihatannya, dia lantas memberitahukan beberapa temannya dan kemudian informasi tersebut menyebar, hingga semua manusia yang ada di sekolah ini menyaksikan pemandangan yang menggetarkan rasa keimanan itu.
Tulisan tersebut sangat jelas, dan bisa dibaca banyak orang. Terlebih ketika itu cuaca sangat bagus, langit terang berwarna biru. Sekitar sepuluh menit kemudian, tulisan Allah berubah membentuk tulisan Muhammad dengan tulisan Arab. Dan dilihat lebih nyata, di atas huruf “Dal” dari tulisan Muhammad itu tertulis pula “Allah”. Jika ditelusuri lagi, awan itu pun membentuk tulisan “Muhammad Rasulullah”.
Momen ini, tidak disia-siakan oleh siswa dan guru yang memiliki HP berkamera. Jadilah gumpalan awan itu sebagai objek foto yang bernilai. Dan jadi pulalah cerita dan kejadian ini sebagai pembicaraan yang tak habis-habisnya, yang juga menjadi konsumsi pemberitaan di media massa.
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Kebesaran Allah ini terus berlanjut. Dalam bentuk lain, penguasa alam semesta ini menampakkan kuasaNya melalui lafadz namaNya di buah semangka yang ditemukan masyarakat di Pasa Suak, Jorong Koto Jambua, Aia Bangih, Kabupaten Pasaman Barat. Lafadz tersebut pertama kali ditemukan perempuan paroh baya bernama Nurbasiah (50), Sabtu (10 Maret 2007) pagi saat dirinya berpuasa.
Ketika itu, Nurbasiah baru membeli semangka di Pasar Aia Bangih. Tanpa banyak perasaan apa-apa, dia membawa pulang buah itu untuk kemudian dipotong menjadi beberapa bagian guna dijualnya kembali. Setelah beberapa kali potong, sampailah pada potongan terakhir yang membuatnya tercengang. Sekelebatan cahaya ke luar dari semangka tersebut. Hal itu sempat membuatnya sedikit tersentak. Ketika upaya pemotongan terus dilanjutkan, dia kesulitan dan memerlukan tenaga ekstra hingga akhirnya terbelah.
Ketika dibelah, dia memperhatikan semangka tersebut bersama anaknya. Ketika diteliti lebih jauh, terlihatlah sebuah guratan-guratan membentuk lafadz Allah. Oleh si anak, buah itu dilarang untuk dijual. Namun, ibunya masih bertahan dan memintanya untuk dijadikan santapan saat berbuka puasa pada sore harinya. Hal ini juga dilarang sang anak, karena potongan semangka tadi dirasakannya sangat istimewa.
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Tak sampai di situ, Allah kembali menunjukkan betapa besarnya kekuasaan diriNya. Dia kembali hadir di tengah-tengah umatNya pada Rabu (14 Maret 2007) sekitar pukul 16.00 WIB, melalui cangkang telur yang bikin heboh Warga Jalan Banto Laweh No 46A, RT 02/RW I. Seorang anak SMP yang sedang mengerjakan kegiatan rutinnya sepulang sekolah, mengutip telur ayam kampung di kandang belakang rumahnya, dibikin takjub saat melihat sebuah telur yang semula dikiranya rusak karena sebagian cangkangnya belum keras. Setelah diperhatikannya dengan seksama, ternyata bertuliskan lafadz Allah pada ujungnya. Subhanallah!!
Keesokan harinya, Kamis (15 Maret 2007), cangkang telur berlafadz Allah ditemukan pula di Pasa Suak, Kecamatan Aia Bangih, Pasaman Barat --yang sebelumnya dihebohkan dengan semangka ajaib bertuliskan Allah. Adalah Via (36), seorang pedagang kelontong setempat yang berkesempatan melihat fenomena ini. Ibu dua anak itu terkesima melihat guratan telur ayam ras yang diterimanya beberapa hari lalu dari Payakumbuh. Padahal ketika itu dia "hanya" berniat memeriksa satu-persatu dari ratusan telur yang akan dijualnya. Manatahu dia juga menemukan keanehan seperti berita cangkang telur di Bukittinggi yang baru saja dibacanya di koran. Dan niatnya kesampaian. Allah memperlihatkan kebesaranNya itu. Allahu Akbar!!
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Allah SWT tampaknya tak bosan-bosan menunjukkan kuasaNya. Kali ini Sang Maha Pencipta kembali memperlihatkan lafadz namaNya di awan. Giliran Rahayu Yalwis (14), seorang siswi kelas 2 SMPN 20 Padang, yang berkesempatan melihat fenomena yang cukup menghebohkan itu. Minggu (18 Maret 2007) sekitar pukul 12.30 WIB, secara tidak sengaja dia melihat gumpalan awan di atas langit biru saat dia berada di pekarangan rumahnya di Perumahan Pelana Indah Blok i No 5, Kelurahan Pampangan, Kecamatan Lubuak Bagaluang. Dia lantas memberitahukan kepada ibunya, Wisdarmi. Sang bunda langsung ambil inisiatif meminta anaknya untuk mengabadikan momen itu di kamera HP-nya. Karena selisih waktu saat melihat dan mengabadikan itu lumayan lama, hasil foto dari HP Nokia 6630 tersebut terlihat agak sedikit mengembang.
Sudah cukupkah Allah melihatkan tanda-tanda kepada umatNya di Sumbar? Belum!!!
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Illahi Rabbi kembali memperlihatkan kebesarannya kepada manusia supaya kembali kepada jalan yang benar. Selasa (20 Maret 2007) sekira pukul 10.00 WIB, warga Batu Taba, Kabupaten Agam digemparkan oleh temuan lafadz asma Allah di pohon jati yang tumbuh di perkarangan SMIK Batutaba. Di sekolah yang memiliki program studi kryia kayu, kriya tekstil dan studi akuntansi itu menjadi ramai seketika karena informasinya sangat cepat tersebar. Bermacam-macam reaksi yang keluar dari mulut warga tetapi kebanyakan memuji kebesaran Allah.
Pertanda apakah ini? Begitu beruntunnya Sang Pencipta Manusia itu memperlihatkan kebesaranNya pada rakyat Sumbar. Adakah sesuatu akan terjadi? Atau ini sekedar untuk memperingatkan umatNya agar selalu mengingatNya? Wallahualam...
Allahu Akbar. Allah maha besar. Seperti dikatakan Eka Putra Wirman, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang, "Di sini terlihat betapa sempurnanya informasi yang diberikan Allah kepada manusia tentang kekuasaan-Nya. Bukti-bukti tersebut dapat dicerna dengan mudah oleh indera manusia karena bukti-bukti itu merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, bahkan bukti-bukti itu terdapat pada diri manusia sendiri. Allah terlihat sangat pemurah dan tidak pernah bersikap kikir dan pelit dalam membeberkan keperkasaan dan kedigdayaan-Nya. Allah tidak memilih-milih waktu tertentu untuk “bertajalli” kepada hamba-Nya, karena Dia tidak ingin sang hamba tersesat dari jalan yang lurus. Allah juga tidak sedang bermain petak-umpet dengan hamba-Nya, yang sekali-kali timbul dan sering kali bersembunyi."
Ingat, Allah telah mengingatkan kita melalui al Qur'an, bahwa, “...dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Adz Dzaariyaat:20-21). (***)


tulisan ini disalin (dan ditambah) dari blog ayahdisya

Minang Saisuak #71 - Klub Sepakbola Tionghoa Waras Kemuliaan di Padang (1906)

minang-saisuak-klub-sepakbola-tionghoa-e2809cwaras-kemuliaane2809d-di-padang-1906
Asap hio di Ranah Minang, meminjam judul buku Ernawati (2007) tentang komunitas Tionghoa di Sumatra Barat, memang sudah lama mengepul. Dalam buku itu Ernawati mendeskripsikan keberadaan orang Tionghoa di Ranah Minang. Namun demikian, masih banyak hal yang terkait dengan keberadaan komunitas Tionghoa di Padang yang belum terungkapkan. Yang jelas, komunitas yang bernenek moyang dari Negara Tirai Bambu itu sudah lama berhijrah ke berbagai tempat di Ranah Minang. Mula-mula mereka mendiami entrepot-entrepot pantai seperti Pariaman dan Padang. Tapi kemudian ada yang berpindah ke kota-kota pedalaman, seperti Bukittinggi dan Payakumbuh.
Kali ini Singgalang Minggu menurunkan foto klasik yang terkait dengan aktivitas orang Tionghoa di Padang, yang mungkin banyak di antara kita sekarang yang tidak mengetahuinya: kaum Tionghoa Padang dan sepakbola. Foto di atas mengabadikan satu klub sepakbola milik orang Tionghoa yang terkenal di Padang pada awal abad ke-20. Chinesche voetbalvereeniging (Perkumpulan Sepakbola orang Cina) ini bernama Waras Kemoeliaan. Seperti dapat dibaca dalam teks yang kami sertakan di foto itu, Klub Waras Kemoeliaan didirikan pada tanggal 2 Agustus 1906 sempena hari kelahiran Ratu Emma. Jelas ini ada kaitannya dengan politik semasa, di mana posisi orang Tionghoa sebagai warga Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) di Nusantara yang sangat berperan di bidang ekonomi, sering lebih lebih dekat dengan Belanda sebagai penguasa pada waktu itu. Lepas dari, itu olah raga sepakbola termasuk meriah di kota-kota Sumatra Barat di masa lampau. Selain klub Waras Kemoeliaanini, ada beberapa klub lain yang muncuk di masa itu dan sesudahnya di Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. 
Kelihatan cukup necis juga pakaian para pemain sepakbola klub Waras Komoeliaan ini. Beberapa orang memakai topi: tampaknya topi khas yang biasa dipakai oleh orang Cina di Padang pada waktu itu. Beberapa orang memakai kaos yang ada salempangnya, Dua bola berwarna hitam seperti buah labu tergolek di depan. Tentu saja waktu itu bola baragi yang bagus-bagus warnanya, seperti yang kini dipakai oleh Pasukan Kabau Sirah di Indarung atau Setan Sirah di Manchester masih sulit didapat untuk tidak mengatakan belum ada.
Kehadiran klub sepakbola Waras Kemoeliaan, yang kemunculannya dikaitkan dengan ulang tahun Ratu Emma (1858-1934), jelas mencerminkan hubungan sepakbola dan politik di Indonesia, sebagaimana pernah dibahas oleh Freek Colombijn dalam artikelnya The politics of Indonesian football: an introduction to a new field, Archipel 59 (2000):171-200. Kelindan antara sepakbola dan politik itu, sampai sekarang pun masih kentara di Indonesia, sebagaimana dapat dikesan dari kasus PSSI yang kursi ketuanya selalu ramai diperebutkan, penuh dengan intrik dan juga korupsi.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 19. Tahoen Keempat, 15 Januari 1907:250).

Bola Panas dari Nagari Minang

OPINI | 13 October 2012 | 11:58 Dibaca: 608   Komentar: 4   2 aktual
1350104688764384290
Logo Semen Padang FC (www.hattrick.org)
Kisruh terus terjadi di tubuh PSSI, kali ini manuver dilakukan oleh klub kebanggaan tanah Minang, Semen Padang FC. Melalui Toto Sudibyo komisarasi PT. Kabau Sirah yang membawahi klub juara IPL musim lalu, Semen Padang FC mengancam akan menarik 9 pemainnya dari tim nasional. Ancaman ini datang ditengah persiapan akhir timnas menuju piala AFF 2012.
Dan ini hanya terjadi di Indonesia, ketika sebuah klub berani mengancam dan mengintervensi federasi resminya hanya karena berseberangan pendapat. Entah virus apa yang menjangkiti orang-orang seperti Toto Sudibyo hingga berani mengeluarkan kalimat naas ini.Bukan kali pertamanya di Indonesia sebuah klub berani mengintervensi federasi resminya, sebelumnya Sriwijaya FC  dan Persib Bandung juga melakukan hal yang sama.
Catalonia, Calciopoli dan Kerimov
Coba kita lihat keluar sana, ke benuanya industri sepakbola modern. Klub sebesar Barcelona tidak pernah berani mengancam federasi sepakbola Spanyol (Real Federación Española de Fútbol /REEF) akan menarik pemainnya dari timnas hanya karena Catalonia tempat homebase Barca ingin lepas dari Spanyol. Barcelona FC tidak ingin terlibat dalam pergumulan politik antara Catalonia dan Spanyol, padahal sejak lama orang-orang di Barca merasa dipinggirkan oleh Spanyol. Padahal ada setengah pemain inti timnas Spanyol dari klub Barcelona, tanpa mereka sulit rasanya Spanyol banjir trofi.
Ke negeri Pizza Italia, Kasus Calciopoli tahun 2006 yang menjadikan Juventus sebagai klub pesakitan, kehilangan gelar dan turun kasta, tidak lantas membuat Juventus ingin membalas dendam ke FIGC dengan menarik pemainnya dari timnas Italia, keteguhan hati dan nasionalisme Juventus berbuah gelar Piala Dunia 2006 bagi Italia dan federasi FIGC yang pernah menghukum mereka. Sikap profesionalisme bisa membedakan antara kepentingan klub dan bangsa.
Singgah di negeri Beruang Merah, Rusia. Milyuner muslim Suleyman Kerimov pemilik klub Anzhi Makhachkala anggota liga Primer Rusia, yang saya yakin lebih kaya dari Toto Sudibyo dan bossnya. Kerimov tidak mau mencampuri urusan timnas hanya karena negeri leluhurnya Dagestan bermasalah dengan Federasi Rusia. Kerimov tetap mendukung Liga Primer Rusia dan timnas Rusia. Real Madrid, AC Milan, Liverpool dan Barcelona merupakan segelintir klub Eropa yang dilemari mereka berjejer tropi juara, tapi klub-klub ini tidak pernah bertindak bodoh diluar nalar ingin mengancam federasinya.
Asa di Ranah Minang
Kembali ke ranah Minang yang elok, lupa kah orang Minang dengan sejarah silam ,ketika kaum bersorban putih:Kaum Paderi yang semangat revolusinya ingin menjalankan syariat islam dengan murni harus berhadapan dengan kaum adat yang konservatif dan didukung penjajah. Sang penjajah kemudian menjadi ponyokong kaum adat menggempur kaum revolusi. Tidak puas dengan politik adu domba sesama minang, Belanda menjadikan Sentot dari tanah Jawa sebagai kaki tangan Belanda di  Negeri Minang. Tapi Sentot sadar akan politik adu domba Belanda, segera berbalik arah. Dan ternyata kejadian ini berulang kembali di ranah Minang. Kaki dan tangan si penjajah ternyata masih ada dan ingin mencengkram sepakbola di tanah Minang, mereka tidak ingin revolusi sepakbola nasional seperti revolusi aqidah di nagari Minang dahulu, bahkan si Sentot ini belum sadar dari kebodohannya.
Semenjak SPFC berniat pindah ke ISL dan mencomot satu persatu pemain timnas, dugaan saya SPFC bisa dijadikan alat untuk menggembosi timnas, dan ternyata dugaan saya terbukti benar. SPFC akhirnya menjadi si maling kundang, menanti vonis menjadi sebongkah batu bersujud seperti dalam legenda Minang yang hebat, menjadi museum abadi sebuah klub yang salah urus. Hanya ada di Indonesia “kerbau” bisa mengintervensi tim nasional dan federasi sepakbolanya.
Ya sudah lah seperti judul Lagu Bondan Prakoso & Fade To Black, kalau itu sudah menjadi keputusan Semen Padang, pecahkan saja Gelasnya biar ramai seperti kalimat pujangga dalam film Ada apa dengan cinta, biar sepakbola kita tambah gaduh dan orang-orang yang kalah semakin galau. Mungkin saja manajemen Kabau Sirah memang masih senang bergumul dalam kubangan lumpur layaknya kerbau. Dan bisa jadi kavling lumpur lapindo yang luas menggiurkan si Kerbau Merah.
Dan yang pasti, jika skenarionya memaksa pemain Semen Padang keluar dari Timnas, timnas Indonesia harus terus berjuang menuju piala AFF 2012. Masih banyak anak bangsa yang rindu mengenakan jersey Garuda didada mereka, lebih baik berharap kepada mereka yang loyal terhadap negaranya tanpa tendensi, kepada anak muda yang belum terkontaminasi oleh virus materi. Revolusi sepakbola nasional kita tidak boleh dikalahkan oleh nafsu kelompok yang haus uang rakyat dan kekuasaan. Ayo dukung PSSI menuju industrialisasi sepakbola. Save Timnas, Save PSSI, Kick Politic Out of Football.
Salam Revolusi

Stadion Megah Bakal Ada di Ranah Minang

E-mail Cetak PDF


(BeritaBangunan) Sebuah stadion berkaliber internasional bakal hadir di Tanah Rendang, Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Pengurus PSSI Sumbar yang baru terpilih menargetkan pada 2013 nanti akan dibangun stadion sebagai langkah awal pengembangan olahraga sepakbola di Ranah Minang.
"Stadion yang berstandar internasional merupakan salah satu program PSSI Sumbar untuk bisa mengembangkan olahraga ini ke depannya," kata Ketua Umum PSSI Sumbar masa bakti 2012 -2016 Toto Sudibyo seperti diberitakan Antara.

Menurut Toto, stadion merupakan faktor penting untuk bisa membangun sepak bola Sumbar. Sebab, katanya, stadion yang bagus adalah faktor pendukung untuk menggelar sebuah kompetisi berkualitas baik nasional maupun tingkat Sumbar.

Sumbar saat ini hanya memiliki satu stadion. Jumlah ini belum cukup untuk bisa menunjang perkembangan sepak bola Sumbar. PSSI Sumbar, kata Toto, selain membangun sebuah stadion, ke depan pihaknya akan mengajak kerja sama pihak swasta untuk mendukung program-program PSSI.

Sepakbola memerlukan dana yang besar, dan dibutuhkan komitmen dan semangat dari semua pihak untuk bisa memajukan kompetisi. Karena itu, PSSI Sumbar akan menggalang dana dari sponsor untuk memutar kompetisi.

Toto juga menargetkan akan berusaha membantu klub lokal, PSP Padang agar bisa berlaga di kompetisi kasta teratas di Indonesia, IPL. "Terus terang saya iri dengan Jawa Timur yang mempunyai delapan  klub yang berlaga di divisi utama maupun di IPL. Dan itu menjadi motivasi saya untuk mempromosikan klub yang ada di Sumbar dan berkompetisi di level nasional," katanya.

Senin, 25 Februari 2013


Ini lah jalan ceritanya
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat

Carito - Dari Pisang Buai sampai Sibuk Ba-Partai

Assalamualaikum wr wb.

Sebuah carito ringan....

Manjalang puaso kapatang sempat pulang ka kampuang jao..
ndak lamo sih cuma sekitar 24jam

Banyak juo nan barubah...

Kini di SPG lamo alah tagak sikolah baru.. SMP baru kironyo..
Sempat bakaliliang jo Bendi dari pasa sampai carocok.. (kebetulan hari Kamih)
Pasa di Painan... makan palai Bada.. (ondeh alah lamo indak mengicok palai bada)
Mambali Pisang Buai.. di paragokan 5.000
ondeh bara ka di ago ko....
jo urang rumah kami saliang bapandangan ???
di Pasa Cisalak 15.000 kok dapek itu alah murah sangaik
Tapi namonyo ibuk2 di ago juo lai.. 4ribu lai dapek tu mak..
langsuang diiyokan.. babali 2 sikek..
Eh.. sampai di rumah dikecekan.. ondeh tamaha tu mah..
paliang harago jo cuma 3ribu...

Tapi ado ciek lai.. nan taraso di Painan..
Banyak urang nan sibuk ba- partai
Bendera berbagai warna banyak di jalan-jalan
sahari tu ajo banyak nan bagarombol mamakai jaket partai
ado nan biru.. kuniang.. merah pun ndak katinggalan

Mulai di Koto..
ado nan babandera biru..
balambang sagi tigo..
di tangah Painan ado nan ba hati nurani
eh.. pas tibo jo bendi di carocok
nan pakai kapalo garuda pun
sadang rapek di lapau tapik lawek tu...

Kok bendera jaan dihituang.. rami..
pasti kala Marawa urang baralek tu mah..

Takana jo ketua kelas ambo wakatu SD
kini caleg untuak nan bahati nurani daerah Lunang siLaut.
.....
Pas di puncak Langkisau
dibawah menara Telkomsel tuhhh
(tampek lari kalau Tsunami....)
sambie mamandang Perumnas nan dimudiak...
ambo telepon.. kawan ambo tuh..

Suaro sangajo dimiripkan model tentara manelpon..
(ketua partainyo kan Jenderal..).. ambo Pakai no Jakarta 0813...1068
" Selamat Siang.... Saya dari Dewan Pimpinan Pusat Partai. .....Jakarta
Mau konsolidasi partai dengan Kawan-kawan di daerah...
Berdasarkan data base yang ada di DPP saudara adalah Calon Legislatif untuk
daerah pemilihan Lunang Silaut. kabupaten Pesisir Selatan...."
Dijawek serius.. jo kawan ambo tuh.. " Benar Pak"
" Sekarang bagaimana perkembangan partai dan kondisi daerah pemilihan saudara??"
Ondehhh dijawek lah samo kawan ambo tu.. " Siap pak.... Jadi berdasarkan perkembangan terakhir...... kondisi partai kita ....bla..bla..bla (panjang leba lah kawan ko bacarito..)... sampai akhir-nyo..
" Saudara siap tidak Korupsi???"
"Siap Pak"
"Oke.. kalau saudara korupsi .. saya bisa lihat dari puncak langkisau.. ini oi GAPUAK!!!"
......ndak tahan ambo manahan galak lai.. do...

" Oiiiii angku kironyo... Ndi....ee alah ....
kasikolah ka lapangan Tennis...."



Semoga.. tercapai cita-cita nyo..
Kok alah jadi
bisuak...
Jaan lupo jo kawan ndak

wassalam..

Carito Lawak dari Ranah Minang





Gelar Urang Minang

Usman Chaniago, supir camat di Payakumbuh, minta berhenti karena ingin merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib.

Mula-mula dia bekerja sebagai tukang di Tanah Abang, setelah dapat mengumpulkan sedikit modal dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Bahkan tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI.

Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya, ada Prof., ada Phd., Dr. dll. Usman merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Dibuatlah papan naman dari perak, dipesan dari Koto Gadang, dengan nama DR.Usman Chaniago MSc.

Ketika ayahnya datang berkunjung, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu dia, Usman hanya berdagang.

Dengan malu-malu Usman menerangkan gelarnya di papan nama, "Namo itu artinyo 'Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat', hehehe"



Film Luar Versi Padang

Enemy at the Gates — Lah tibo lawan di pintu…
Batman Forever — Kalalauang
Remember the Titans — Lai Takana jo si Titan
Die Hard — Payah matinyo
Die Hard II — Alun Juo Mati Lai…?
Die Hard III With A Vengeance — Ondeh Mandeh.. ndak juo mati mati doh…?
Bad Boys — Anak Kalera
Sleepless in Seattle — Mangantuak..
Lost in Space — Ilang di awang awang
Brokeback Mountain — Gunuang patah tulang
l Cheaper by Dozens — Bali salusin tambah murah..
You’ve got Mail — Ado surek tuh ha…
Independence Day — Hari Rayo
The Day After Tomorrow — Bisuak bisuak ko...
Die Another Day — Ndak kini matinyo..?
There is Something About Marry — Manga si Merry yo..?
Silence of the Lamb — Kambiang pangambok
All The Pretty Horses — Kudonyo rancak-rancak
Planet of the Apes — Kandang Siamang
Gone in Sixty Seconds — Barangkek lah waang Lai
Mummy Returns — Si One babaliak
Crash — Balago kambiang
Seabiscuit — Makan Biskuit di Lauik
Freddy vs Jason — Bacakak
Just in Heaven — Lah di Surgo
How To Lose A Guy in 10 Days — Baa caronyo manyipak urang..
Lord Of The Ring — Juragan batu cincin
Deep Impact — Taraso dalamnyo
Million Dollar Baby — Anak Rangkayo
Blackhawk Down — Buruang itam si Don
Saving Private Ryan — Mahagia les ka si Ryan
Dumb and Dumber — Pakak jo sabana Pandia..

Kisah Cinta Puti Bungsu dari Ranah Minangkabau

Aku diberi nama Puti Bungsu, karena aku bungsu dari empat bersaudara, satu-satunya perempuan dari tiga kakakku laki-laki. Dan karena aku bersal dari ranah Minang, Putri biasa dipanggil Puti, maka jadilah namaku Puti Bungsu. Aku lahir setelah belasan tahun Ibuku berharap punya anak perempuan, karena garis keturunan di ranah Minang adalah garis ibu, berikut harta pusaka pun turun ke anak perempuan. Perempuan sebagai penerus garis keturunan, tampa aku, anak perempuan satu-satunya, garis keluargaku dianggap punah.

Setelah Bapakku meninggal, dan Ibuku pensiun, aku dan Ibu merantau menyusul kakakku yang nomor dua ke Bandung. Sebagai gadis Minang, aku pandai memasak, menjahit baju, dan menyulam kembang. Bahkan aku juga pandai berdagang, Pasar Baru Bandung dan Tanah Abang, adalah tempatku memasarkan hasil karyaku berupuk rukuk dan mukenah bersulam.
Petatah petitihnya orang Minang, masih melekat di benakku, maka tak aneh jika aku sangat menyenangi yang namanya bermain kata. Menulis puisi jadi hobby yang tak bisa aku tinggalkan.
Tiga tahun lalu aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Rambun, Rambun lahir dan dibesarkan di Medan, dia berdarah campur aduk. Ibunya berasal dari Magelang Jawa Tengah, tapi lahir di Aceh. Bapaknya berasal dari Selat Panjang Kepualauan Riau. Lalu Ibu dan Bapaknya bertemu di Medan, maka tumbuh dan berkembanglah keluarga tersebut di Medan.
Aku dan Rambun memang perjumpa di dunia maya, tapi kami sudah mendarat di bumi sejak tiga tahun silam. Dari jumpa pertama kami di Hero Kali Malang, saat itu Rambun masih bekerja di sebuah perusahaan Taiwan yang bergerak di bidang penjualan alat-alat telekomikasi di Bogor.
Selama bekerja di perusahaan itu, Rambun sering ditugaskan ke Bandung, sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau. Kesempatan itupun dia gunakan untuk lebih sering bertemu aku. Namun perusahaan tersebut terancam bangkrut, Rambun pun harus jadi mencari pekerjaan untuk bisa melanjutan kuliahnya di Extension UI, karena dia tidak bisa mengharapkan bantuan biaya dari orang tuanya. Ibunya meninggal setahun lalu, sedang Bapaknya pikun di usia muda, karena ulah temannya sesama pedagang. Maka tak ada pilihan lain, sementara Rambun terpakasa menarik metromini.
Namun cintaku pada Rambun benar-benar tidak melihat materi. Aku tetap cinta, meski aku tidak lagi berhadapan dengan seorang pegawai kantor yang selalu rapi dan wangi. Kuusap keringatnya yang bercucuran deras karena panasnya kota Jakarta.
Tiga bulan kemudian, dia mendapat pekerjaan baru di sebuah perusahaan asing terkenal, yang bergerak di bidang telekomunikasi. Meski masih sebagai karyawan kontrak, dan harus bekerja ke luar kota, bahkan harus siap bertugas di seluruh Indonesia, Rambun sangat gembira mendapatkan pekerjaan itu.
Setahun berlalu, aku dan Rambun menjalani hubungan jarak jauh. Tagihan kartu haloku meningkat drastis, angka dua juta, dan tak pernah kurang dari satu juta rupiah perbulan harus aku bayar demi cinta. Uang gajiku habis, tabunganku selama berdagang juga ludes. Sampai-sampai cincin yang melekat di kedua jari manisku, habis aku jual untuk sekali pertengkaranku lewat telepon di pasar Kosambi.
Namun malam ini, setelah setahun kujalani, dengan pahit dan getir. Bulan purnama jatuh juga menyinariku menghapus kegelapan yang kualami. Rambun datang untuk melamarku. Mengucapkan janji untuk menikahiku, di depan Ibu, dan Kakakku. Mata Ibu berbinar-binar bahagia, putri satu-satunya tahun depan akan menikah. Meksi Rambun menjanjikan pernikahan dilangsungkan Juni tahun depan, dan harus menunggu satu tahun lagi, aku dan seluruh keluargaku sangat bahagia.
Malam kini bertabur bintang gemintang, telepon dari kerabatku berdering silih berganti, menanyakan perihal pernikahanku. Putri bungsu yang diharapkan memperpanjang garis keturunan, akan menikah. Alek atau perhelatanpun akan dilaksanakan di rumah gadang di Ranah Minang.
Malam-malamku mulai merajuk mimpi, terbayang indahnya perjalanan dari bandara, menuju Lembah Anai nan sejuk, jalan berkelok, diantara rimbunnya dedaunan hijau, dan indahnya air terjun Lambah Anai. Jalan menuju Payakumbuh, akan melewati Ngarai Sianok, Labuah Luruih, dan Pandai Sikek. Ranah Minang nan indah dan dari kejauhan menjulang atap rumah gadang yang melengkung artistik. Gunung Merapi dan Gunung Singgalang kukuh berdiri seolah menjaga Ranah Minang nan elok.
Bahkan nama gelar buat Rambut setelah menikah denganku pun sudah ada di benakku. Sutan Rambun Pamenan, adalah gelar yang bagus buat seorang Rambun. Itulah adat Minang yang selalu memberikan gelar kepada menantunya setelah menikahkan anak kemenakannya.
Rumah gadang akan direnovasi, ukiran kayu yang sudah mulai kusam, akan dipernis semua. Kusen-kusen pembatas tingkah atau kamar di rumah gadang akan diganti semua. Tingkah ada di kanan kiri dan bagian belakang rumah gadang. Itu semua adalah tugas Kakakku yang tinggal di Riau, karena dia paling dekat untuk bolak balik pulang ke Padang.
Sepupuku Anita di Bukittinggi mulai menawar-nawar pelaminan dan pakaian adat yang merona merah menyala. Lagu Malam-malam Baiko sudah terngiang-ngiang di telengaku. Lagu itu biasa didendangkan pada saat pernikahan orang Minang.
Waktupun bergulir tanpa kusadari, enam bulan lagi pernikahan akan dilangsungkan. Tapi bagaimana dengan kesiapan Rambun sendiri? Pagi ini Rambun meneleponku.
“Puti, hari ini sampai besok pagi, hand phone aku matikan, karena aku harus menjalani perjalanan darat dari Banjarmasin menuju Palangkaraya. Sama sekali tidak dapat sinyal, karena melewati hutan lebat”, itulah berita dari Rambun pagi ini.
Aku terima, meski aku tak begitu yakin. Haruskah aku masih belum bisa mempercayai Rambun, sementara pernikahan tinggal enam bulan lagi? Perkawinan haruslah didasari rasa percaya yang penuh, pondasi yang terbuat dari cinta dan kepercayaan, akan membuat bangunan rumah tangga itu kokoh. Tapi itulah kenyataannya, rumah tangga yang akan kami bina masih goyah rasa percaya. Akankah rumah tangga tersebut akan selalu terombang ambing, atau rubuh sesaat diterpa prahara?
Pagi ini sesuai janji, Rambun meneleponku sambil ketawa-ketawa. Aku mulai curiga, kesal seolah dia telah berhasil membohongiku. Bisa jadi dia habis jalan-jalan sepuasnya dengan perempuan lain.
“Aku minta ditelepon dari Wartel, atau dari kantor”, sergahku tanpa aling-aling.
“Aku tidak bisa telepon dari kantor, aku sedang berada di pedalaman Kalimantan Tengah. Mencari wartel saja susah, ini saja untung sudah dapat sinyal”, Rambun mencoba berargumen.
Pecahlah pertengkaran di pagi itu, aku batal berangkat bekerja. Dan pertengkaran pagi itu menjadi sumber pertengkaran demi pertengkaran pada hari-hari berikutnya.
Dengan alasan sering tidak dapat sinyal, hand phone Rambun sering tidak aktif. Aku sudah mulai gerah, persiapan pernikahan aku pinta dihentikan total, biar saja kalau memang pernikahan jadi, mungkin harus diundur.
Awan hitam pekat bergelantungan di otakku. Suasana mulai keruh, aku tak bisa lagi menahan emosiku. Darahku mengalir panas, mencuat sampai ke ubun-ubun. Aku langsung menghantam telepon kantor pusat perusahaan tempat Rambun bekerja, di Jakarta. Aku minta si brengsek Rambun segera dikeluarkan dari pekerjaannya. Telepon kantornya berdering ratusan kali hari ini, sampai operator teleponnya kewalahan mengangkat telepon dariku. Mereka sudah marah-marah, bahkan ada yang menyahut sebagai polisi Metro Jaya. Aku tak peduli, aku kalaf, semua sudah diluar otak warasku.
Lalu aku layangkan surat permohonan untuk diberhentikannya Rambun dari pekerjaannya. Surat tersebut langsung aku tujukan ke HRD-nya. Isi surat tersebut, tentang kelakuan Rambun yang tidak pantas bekerja sebagai karyawan di perusahaan itu.
Ternyata, Rambun benar-benar dipecat, orang-orang di kantor pusat muak mendengar dering telepon dariku.
“Pernikahan batal!”, itulah teriakan yang terlontar di mulut Rambun.
Aku terbakar dan terkapar, penyesalan atas ketidakwarasanku kini mengoyak-ngoyak hatiku. Luluh dan lantak semua pilar-pilar harapan yang sudah kubangun dari tiga setengah tahun silam. Kini usai terburai, menghancurkan harapan Ibu dan Kakak-kakakku juga.
Malam yang gelap pekat, dan lampu-lampu bahagia mulai meredup, dan padam. Senyap mendekap, dan sesepoi sesal menggoreskan pisau membelah panjang jantung dan hati.
Rambun masih tetap bertahan tinggal di Balikpapan, masih bisa kuhubungi. Dari beritanya dia sekarang memberi les private buat anak SMP dan SMA, khususnya mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Bahasa Inggris. Dan pada siang harinya dia jadi tukang ojek, kebetulan Ibu kosnya bermurah hati meminjamkan motornya, meski harus bagi hasil setiap harinya.
Setelah pertengkaran hebat, dan prahara itu usai, tapi syukurlah komunikasi kami tidak terputus. Rambun bisa menerima kejadian ini dengan lapang dada. Sebenarnya siapa didunia ini yang bisa memberi maaf pada dosaku yang sudah menghancurkan karirnya. Tapi dibalik itu, siapa perempuan jaman sekarang yang tidak silau dengan materi, dan siapa yang bisa menerima penghasilan suaminya sekecil apapun. Itulah satunya yang masih membuat hubungan kami masih bertahan.
Berita tentang buyarnya acara pernikahanku mulai merebak di kantor. Teman-teman mulai berbisik-bisik di belakangku. Satu dari temanku bernama Sari, dia terhitung tua untuk terlambat menikah. Dia mulai berfikir, aku akan mencoba menggaet hati teman laki-laki yang masih lajang di kantor ini. Cibirannya dan sindirannya bertubi-tubi menghantamku terang-terangan. Sampai-sampai aku diberitakan ambil kesempatan untuk berpacaran, jika ada tugas keluar kota. Aku dicap tak punya malu, tak mau keluar biaya.
Aku sudah tak tahan dihantam Sari setiap hari, lalu ku kirim sms ke hand phone-nya. “Aku sama sekali tidak berniat menikah dengan siapapun di kantor ini, masa depan tanpa pesangon, sama sekali tidak menarik bagiku, jika ada yang mau sama kamu, silakan kamu ambil semua”, tegasku.
Sms itu disebarkan Sari ke semua teman-teman di kantor, sampai ke HRD malah Direktris dan Ownerpun membaca sms terbut dengan kesal dan membenciku.
Aku duduk di pojok ruangan IT ini sendiri perempuan, semua teman laki-laki di ruangan ini membenciku karena sms tadi dianggap meremehkan mereka semua. Aku menangis sediri di pojok ini, sementara dari ruangan sebelah Sari teriak-teriak bersahutan dengan teman-teman lainnya menghina aku, mengejek aku terang-terangan, tidak ada lagi sindiran. Di bulan Ramadhan ini kita harus berusaha menjaga hati dan kata-kata. Aku hanya bisa tak henti melafalkan tasbih di mulutku. Berharap Allah segera menyadarnya mereka semua, dan memberikan jalan terbaik bagiku. Aku hampir pinsan di kantor ini, karena malam-malam aku tidak bisa tidur memikirkan nasibku, dalam keadaan berpuasa pula.
Tiba-tiba berita baik muncul, speedy mau dipasang di kantor kami. Berarti aku bisa mencari teman buat mencurahkan semua perasaanku. MIRCpun langsung kuinstall di komputerku, berikut Yahoo Messanger. Maka tertambatlah aku pada seorang pemuda Pakistan. Perkenalan itu berlanjut dengan tukar-tukaran ID dan foto-foto terbaru kami.
Pemuda tampan dari Pakistan itu bernama Nawaz Khan, kulitnya kuning langsat, sebaris kumis rapi di atas bibirnyanya yang merah. Matanya bulat, jengan biji mata hitam kental. Rambutnya tebal hitam mengkilat. “Smart!”, sergah hatiku.
Dia bekerja sebagai pegawai negeri di negaranya. Suaranya yang lembut dan Islami menyejukkan seluruh rongga-rongga hatiku. Kami tidak hanya berbicara melalui chat di YM, tapi beberapa kali kami sempat saling telepon.
Aku terbuai, pertama kali kami hanya sebagai sahabat, maka tanpa ragu-ragu Nawaz pun bercerita kalau dia sudah punya tunangan gadis enam belas tahun bernama Seema.
Namun karena kuatnya Islam di kampungnya, sampai detik ini dia pelum pernah bertatap muka dengan calon istrinya. Hanya selembar foto yang pernah dilihatnya. Seema hafal Alquran, dan memakai cadar dalam keseharian.
Tak disangkal suatu siang, Nawaz mengirim sebuah message, I have i, I have l, I have o, I have v, I have e, can u receipt me?”
“Oh ya?, buat siapa message itu Nawaz?”, sahutku.
“Atau siapa yang kirim message itu untukmu?”, sambungku lagi.
“Temanku dari Philipina”, jawabnya.
“Acha.. acha.. “, aku menirukan dialog Pakistan.
“Koi baat nahi”, lanjutku bilang tidak apa-apa.
“Aku kira message itu untukku, ternyata hanya kamu kirim buat share denganku”, tambahku menggoda.
“O… ya… ya…, ini untukmu, tadi aku ragu mengirim untukmu, aku takut kau tolak”, lanjut Nawaz malu-malu.
“Aku menerima cintamu Nawaz…”, lanjutku malu-malu juga.
Nawaz dan aku bahagia sekali hari itu, kami ternyata saling mencintai di dunia maya. Maka bunga-bunga cintapun bertaburan di angkasa. Lalu terpajanglah deretan kata-kata yang romatis dari Nawaz sepanjang siang. Pemuda tapan dan berwajah cakep itu kini bersemayam di seberang ruang hatiku buat Rambun. Rambun yang malang tak pernah kubuang, dia masih bertahta di singgasana yang meski sekarang telah terbagi dua. Aku dan Rambun masih rutin berkomunikasi.
Siang ini aku mulai uring-uringan, ingin cepat-cepat menikah dengan Rambun. Penantian panjang kini sudah lebih dari tujuh tahun. Aku tak peduli besar kecilnya pendapatan yang diterima Rambun sebagai guru les dan tukang ojek. Itulah kemurnian cinta yang bisa kupersembahkan untuknya, dan kesediaanku menerima Rambun apa adanya.
Aku mulai mengancam Rambun di telepon.
“Rambun, kapan kita menikah?, aku tak peduli dengan penghasilanmu, jika kita tidak juga menikah, aku akan pergi ke Pakistan, di sana aku punya sesorang yang mau menikahi aku”, ucapku mengajak Rambun menikahiku segera.
“Silakan!, asal kamu tahu, aku tidak pernah rela kau menikah dengan orang lain, setelah kau hancurkan karirku, sekarang aku sudah jadi gigolo karenamu”, ucapan itu menampar hatiku dengan sangat kerasnya.
Pembicaraan itu terputus, Rambun langsung mematikan hand phonenya. Aku menjerit, tangisku pun meledak di pinggiran halaman kantorku. Aku langsung berlari ijin pulang. Sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah, aku tak berhenti mengurai tangis. Saputanganku kuremas, sudah tidak sanggup menampung air mataku yang mengucur deras. Aku ganti mukena buat lap air mataku, yang selalu tersedia di tasku.
Aku tak sabar lagi ingin cepat-cepat menepon lagi Rambun.
“Rambun, apa benar kamu sudah sering main sama Tante-tante itu?”
“Benar Puti, aku sudah bosan hidup susah”, tandasnya.
“Itu salah Rambun, mengapa sampai sehina itu kau perbuat pada dirimu sendiri?, sampai dirimu sendiri kau jual?”, aku mulai berteriak.
“Dosa!...., zina sekali saja dosa besar, apalagi terus-terusan kau lakukan”
“Aku sudah putus asa Puti”, suaranya datar saja.
Aku meraung-raung sampai pagi, terbayang di mataku semua bakal hancur. Kalaupun aku sampai menikah dengannya, sanggupkah aku bersuamikan seorang pengidap penyakit spylis, dan mungkin HIV? Kenyataan pahit itu terus kutelan juga.
Pagi pun datang, aku harus juga berangkat kerja dengan mata sembab, lagi merah bara. Seperti biasa Nawaz hadir di pucuk pagi, menyapakan dengan lebut. Aku cerita semua pada Nawaz, tentang Rambun.
“Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir”, itulah kalimat dari Nawaz yang selalu menghiburku.
Lalu aku kembali terbenam chat dengan Nawaz.
“Nawaz, bagaimana jika suatu saat aku datang ke Pakistan dan ingin menikah denganmu?”, aku mencoba mengujinya.
“O.. aku pasti akan menikahimu Puti, tapi jika aku sudah menikah ketika kau datang, maukah kau jadi istri kedua?”, tandasnya
“Aku tidak mau, aku paling benci poligami”, kataku sedih.
“Lagi pula, Puti tidak akan tahan hidup di sini dengan semua budaya yang berbeda, perempuan harus pakai cadar, dan tidak boleh pergi dari rumah, juga makanan pokok kami kadang hanya sepotong roti dengan salad, tidak ada rendang di sini Puti”, kata Nawaz melucu.
Nawaz dengan penghasilan pegawai negeri, juga tidak akan mungkin memberiku ongkos buat pulang ke Indonesia, bila aku kangen Ibu dan Saudara-saudaraku. Uang 20 juta pulang pergi, kapan bisa Nawaz berikan dengan posisinya hanya sebagai pegawai negeri. Bagiku tak masalah, toh dari pertama juga aku hanya sekedar berteman.
“Lalu kapan kau akan menikah dengan Seema?”, tanyaku
“Secepat mungkin, karena aku merasa sangat butuh istri, setelah Puti selalu bermanja-manja denganku, gairahku untuk menikah jadi terpacu”, tegasnya.
“Aku mulai membayangkan malam pertamaku dengan Seema”, lanjutnya.
“Nawaz!.... Aku benci Allah…”, kalimat dosa itu terlompat dari mulutku.
“Puti!... baca Astaghfirullah, Lailahaillaloh, Muhammadarasulullah”, sergah Nawaz.
“Kamu sudah berpaling tanpa malu dari Allah semudah itu”, tandasnya
“Puti, cepat sholat tobat dua rakaat, jika itu tidak kau lakukan, aku akan menghilang darimu selamanya, aku lebih cinta Allah dari pada kamu Puti”, Nawaz mulai marah padaku.
Aku ucapkan semua, lalu aku berlari menunaikan shalat tobat, aku salah, dan sekejap tergelencir. Semua terlalu menyakitkan, semua kepedihan itu menari-nari di benakku. Tentang Rambun yang sudah terjerumus ke lembah hitam, tentang Nawaz yang akan segera menikah dengan Seema, tentang semua teman di kantor yang sudah membenciku. Semua menghantamku, menghempaskanku pada ketakberdayaan.
Dengan tubuh terhuyung lemah, aku terus bekerja. Di satu kesempatan aku coba membuka google, iseng kutulis nama Rambun di situ, lalu apa yang kutemukan. Aku menemukan nama Rambun, lengkap dengan alamat kantor dan beberapa nomor hand phone dan nomor telepon kantor tertera di situ. Situs Komite Minyak dan Gas Indonesia.
Aku langsung mencoba menelepon salah satu dari nomor itu, suara yang sangat kukenal menjawab halloku. Rambun langsung menanyakan dari mana aku tahu nomor itu, aku ceritakan semua. Rambun tidak marah, dia hanya berpesan jangan hancurkan lagi karirnya, karena baru tiga bulan ini, dia sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan minyak di Balikpapan.
“Puti, jika kamu masih mengharapkan aku, jangan kau hancurkan lagi”, pintanya.
“Aku janji, asal kau juga janji, jangan sakiti lagi hatiku”, balasku.
“Iya, semua kita serahkan pada Allah, dia yang menentukan, Insyaallah”, lanjutnya.
Kini aku merasa lega, ternyata Rambun tidak terjatuh ke jurang hitam, dia hanya kesal mendengar ancamanku untuk lari ke Pakistan. Sekarang aku harus benar-benar berserah diri kepada Allah. Pepatah yang satu ini akan kupegang kuat-kuat “Takkan lari gunung dikejar”
Jika Rambun memang jodohku, kami pasti menikah, namun bila Rambun bukan jodohku, maka Allah akan memberikan yang terbaik buatku. Amin.